Oleh: Nur Asma*
KALAU kita sepakat bahwa komunisme sudah runtuh, meski kita harus sepakat untuk meninggalkan cara-cara yang pernah dilakukan dalam merebut hati masyarakat. Ntahlah, hal semacam itu ternyata masih sering kita jumpai dilingkungan sekitar kita. Pada kondisi seperti ini, saya tidak ingin terbawa-bawa dalam membuat asumsi yang mungkin membuat masyarakat membenci pada semua tindakan yang dilakukan oleh pejabat bahkan penguasa negeri. Karna sejatinya tidak semua bejabat yang berbuat curang. Saya hanya sekedar berasumsi bahwa masyarakat kita tidak suka beradu domba.
Sebagai bangsa yang memiliki potensi besar bernama persatuan. Jika ini kita korbankan kita tidak akan mendapat apa-apa selain kerusakan bangsa yang ditimbulkan oleh kecurigaan dan permusuhan antar golongan. Sejarah bangsa kita memberi banyak pelajaran betapa mahalnya ongkos perpecahan. Perpecahan hanya memeberi keuntungan bagi para penjajah yang ingin menancapkan kekuasaannya lebih lama. Hanya ingin memberi keuntungan bagi penjajah agar lebih lama menguasai bangsa ini. Selama kurang lebih dari tiga abad bangsa kita dijajah karena tidak ada persatuan dan kesatuan yang tercipta.
Bukankah dulu momen kebangkitan nasional lahir dari kesadaran untuk mengubur perpecahan? Bukankah sumpah pemuda lahir dari keinginan untuk menyatukan derap langkah kita sebagai seorang negarawan penerus generasi bangsa menjadi kekuatan yang satu dan sama? Saya berharap jangan sampai kita sebagai negarawan berfikir untuk meniup kembali terompet perpecahan yang sudah lama kita kubur dalam sejarah bangsa.
Hingga saat ini, menurut saya rakyat kita masih hidup dalam kondisi yang kurang beruntung. Saya mengistilahkannya belum “hiduplah tanahku hiduplah negeriku” seperti pesan mendalam dari lagu kebangsaan kita. Olehnya itu,yang perlu kita korbankan adalah semangat juang “ bangunlah jiwanya bangunlah badannya”. Pesan yang tersirat dalam lagu itu adalah keseimbangan dalam membangun bangsa, dan tentunya tidak mudah. Jika kita kembali melihat sejarah, bahwa Bung Karno mampu menyatukan emosi bangsa kita, sehingga walaupun mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan mereka masih memiliki semangat juang yang tinggi untuk menjadikan bangsa yang memiliki harga diri. Pada masanya, Pak Harto juga berhasil menghimpun kekuatan kekuatan bangsa kita untuk bersatu menciptakan stabilitas dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pak Harto tercatat sebagai pemimpin yang yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme pemuda.
Setelah melewati dua periode tersebut bangsa kita sudah mencapai titik keseimbangan. Namun sejarah berkata lain. Apa yang kita alami dari dua periode tersebut selalu berujung pada krisis. Yang pertama krisis politik yang bermuara pada krisis ekonomi dan yang kedua krisis ekonomi yang bermuara pada krisis politik. Entahlah, saya tidak ingin menyalahkan pemimpin sesuda dua periode yang telah kita lewati.
Cara yang paling mudah iyalah mencari siapa yang bersalah, seperti yang selama ini kita lakukan. Tapi saya tahu itu tidak akan menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah dalam memberbaiki bangsa. Itu sebabnya dari isi tulisan ini saya ingin mengajak kita semua untuk tetap focus pada pembangunan bangsa beserta potensi yang kita miliki.
Banyak sekali nilai-nilai bangsa kita yang mulai tergugus dan dilupakan oleh generasi muda. Nilai-nilai persatuan, kebersamaan, toleransi kejujuran dan tanggungjawab nyaris raib karena setiap kelompok hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri. Menurut saya bahwa seorang negarawan berpikir bagaimana generasi mendatang bisa tetap hidup. dan tentunya sejara hanya menydiakan ruang bagi para negarawan karena mereka telah menunjukan bahwa mereka pantas untuk dikenang.
Sedikit terbesit pertanyaan dibenak saya, bagaimana generasi mendatang akan menilai kita? Tapi sebelum mereka menilai kita, terlebih dahulu mereka harus tahu siapa kita.
Penulis adalah Bendahara Umum Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN) Regional kota Palu.