Kita harus memahami jika kehidupan ini merupakan medan peperangan antara dua kubu yang berbeda, kubu yang saling ingin menang hingga berakhirnya kehidupan. Peperangan antara kebaikan dengan keburukan, peperangan antara haq dan batil, pertempuran kutup positif dengan kutup negatif, peperangan kubu pro dengan kontra.
Semuapeperangan akan selalu ada, baik dalam lingkup yang besar seperti negara, pasti ada koalisi pemuja rezim, dan ada pula oposisi yang siap menyerang ketika ada peluang. Atau dalam lingkup kecil dalam sebuah organisasi, juga akan kabilah pejuang dan kabilah pecundang.
Begitulah kehidupan yang sudah digariskan oleh Tuhan Pencipta Seluruh Alam. Sudah menjadi tugas manusia sebagai khalifah untuk mengubahnya dengan tangan kita sendiri. Bagaimana mengajak orang terus berada dalam sisi kebaikan dan terus istiqomah di jalan kebenaran.
Pengantar diatas merupakan awal tulisan saya untuk menceritakan GPAN dalam sudut pandang yang berbeda. Saya tidak akan menceritakan sejarahnya, visi-misi, maupun program-program andalan. Selain sudah sangat biasa, ya bisa kalian lihat langsung di sosial media maupun website resminya. Tulisan ini juga bukan pengalaman-pengalaman manis ketika bergabungdidalamnya. Tentu semua itu sudah ditulis oleh penulis-penulis sebelumnya dengan gaya mereka.
GPAN merupakan komunitas yang unik (menurut saya), komunitas yang bisa menjadi serpihan surga di dunia karena kita mendapat keluarga disana, atau bisa menjadi neraka yang menyebut nama GPAN saja kita sudah dibuat malu olehnya.
Sebagai salah satu orang ‘tertua’ yang berproses di komunitas GPAN (khususnya regional Malang) kurang lebih selama tiga tahun, tentu saya paham betul dengan perkembangan komunitas yang bergerak dalam literasi ini. Terutama pola-pola para pengurusnya yang berbeda-beda. Namun, ada sesuatu yang sama dalam setiap periode-periodenya, yaitu setiap orang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang dia usahakan.
Pernah dalam kesempatan yang sudah lama, saya mencoba bertanya kepada seseorang yang sudah setia di GPAN. “Kon seng mbok olehi ndek GPAN opo sih?” (Apa yang kamu peroleh ketika ikut GPAN) tanya saya. Dia pun dengan cepat dan tanpa berpikir menjawab “Keluarga”, dan jawabnnya pun sebetulnya tak membuat mata saya berkaca-kaca…ya karena saya sudah bisamenebak jawabnya,dan saya juga memperoleh hal yang sama sepertinya. Bukan hanya saya, dan dia yang tak saya sebutkan namanya, masih banyak orang yang mendapatkan keluarga ketika bersama dengan GPAN tercinta.
Di kesempatan lain tanpa bertanya lagi, saya mencoba mengamati dengan sepenuh hati dan penuh konsentarsi, serta mengingat memori yang sudah terjadi. Tidak semua orang yang tergabung dalam dekapankehangatan GPAN mendapatkan keluarga, ada yang hanya mendapat sertifikat kepanitiaan aja, dan ada yang lebih menyedihkan, dia tidak mendapatkan apa-apa, kecuali namanya terdapat didalam list group WhatsApp yang dibuat oleh ketuanya.Ya inilah keunikan dari GPAN itu sendiri. Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, setiap orang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang dia usahakan.
Dalam tahapan merenung saya berfikir dan mencoba menjawab pertanyaan besarnya, kenapa semua orang tidak mendapatkan hal yang sama, kenapa harus berbeda-beda? Padahal kita sama-sama manusia yang memiliki potensi yang sama.
Ketika saya mencoba menyalahkan teman-teman yang tidak aktif, tentu ini langkah yang salah. Mereka pasti akan menyiapkan beribu alasan, dari tidak adanya waktu karena kesibukan, atau karena tidak nyaman dengan divisi penempatan, hingga permasalahan pribadi pun kerap mucul ditengah jalan. Mereka salah? tentu tidak.
Namun, ketika saya mencoba mengkambing hitamkan pengurus inti,tentu ini bukan jalan mencari kebenaran yang sejati.Sudah kita tahu bersama, bahwa mereka sudah membangun GPAN ini dengan tangisan darah serta keringat yang tak terbendung derasnya. Berbagai pengorbanan sudah dilakukan untuk terus membangun dan memperjuangkan GPAN ke puncak kejayaan.
Saya kemudian mencoba merenung kembali dengan kejernihan hati dan ketajaman berfikir, untuk memulai mengurai satu persatu benang permasalahan yang ada. Saya tarik kesimpulan, bahwa semua sisi harus berani intropeksi diri, berani memperbaiki diri dengan bumbu-bumbu krtikan yang menyayat hati. Its okey, obat pun pahit rasanya, tapi tetep aja kita minum demi kesembuhan kita kan?
Percumah ketika pengurus inti sudah merumuskan berbagai program untuk merekatkan anggota yang tidak aktif tanpa disambut gembira oleh mereka. Atau percuma, banyak anggota yang antusias berkegiatan, tapi tidak ada wadah bagi mereka yang diciptakan oleh yang berwenang (pengurus inti).
Dalam merumuskan konsep keaktifkan anggota (yang menjadi salah satu permasalahan di setiap periode GPAN), saya memiliki aturan fundamental (mendasar) yang harus dipahami dan kita renungkan bersama.
Setidaknya ada dua aspek yang mempengaruhi keaktifan anggota. Pertama aspek internal yang menyangkut dari sisi teknis dan segi fungsional yang ada di GPAN itu sendiri. Pengurus inti harus memiliki kepekaan pribadi dan sosial untuk menghadapi anggota tidak aktif, baik dalam permasalahankelompok maupun individual. Karena setiap masalah memiliki service yang berbeda untuk dipecahkan dan ditemukan solusinya.
Kita tidak bisa memecahkan masalah pribadi individu anggota dengan perspektif kelompok. Bukannya menghilangkan satu masalah, tapi malah menumbuhkan seribu masalah yang lain, begitu pula sebaliknya. Disini, pengurus inti selaku stakeholder dalam sebuah komunitas (termasuk GPAN) harus cerdas dalam menempatkan diri dan pintar dalam memiliah mana permasalahan bersama yang harus dipecahkan dengan rumus kelompok, dan mana konflik individu yang harus diselesaikan secara empat mata.
Selain itu, juga sikap eksklusivitas yang terus dirawat oleh segelintir orang yang sok-sokan berkuasa atas diri orang lain, atau asyik sendiri dengan teman yang satu frekuensi, sehingga merasa tak butuh orang lain dalam menjalankan tugas di organisasi, ini juga harus dihindari. Komunitas apapun itu, pasti dibangun dengan asas kekeluargan dan rasa saling membutuhkan satu dengan yang lain.
So…mulai sekarang ubah padangan kita terhadap orang lain, hargai mereka sebagaimana kita menghargai diri kita sendiri. Hormati mereka sebagaimana kamu ingin dihormati orang lain. Percayalah kita tidak bisa berjuang sendiri dalam membangun sebuah organisasi. Kita butuh tangan-tangan lain untuk diajak berjuang bersama demi tujuan yang sudah dicanangkan jauh sebelumnya.
***
Tentu bukan sebuah keadilan jika kita hanya mengomentari pengurus inti. Disisi lain pengurus lain (khususnya yang tidak aktif) juga harus membuka hati, apakah yang selama ini kalian yakini itu sebuah kebenaran yang hakiki, dan ikut diamini kebanyakan manusia di bumi.
Sangat percumah jika pengurus inti sudah melakukan segala kewajibannya tapi tidak ada dorongan dalam diri pengurus lain (khususnya yang tidak aktif) untuk mulai bergerak ke arah kebaikan. Percumah ada kegiatan jika tidak ada keikutsertaan, percumah ada ajakan jika direspont dengan keangkuhan, percumah ada rangkulan namun dibalas dengan cacian. Ini lah aspek ekternal yang saya maksud untuk melengkapi kesempurnaan dari aspek internal itu sendiri.
Pengurus lain (khususnya yang tidak aktif) harus selalu ingat dengan komitmennya yang dengan sadar diucap saat tes wawancara. Kalian harus memahami setiap perkataan mengandung konsekuensi, termasuk ketika kalian berikrar rela memberikan waktunya, menyisihkan sedikit rizkinya, rela memberikan tenanganya untuk GPAN tercinta. Apakah kalian lupa semua itu?
Jika kalian beralasan “Maaf kak masih ada kesibukan lain” atau “Maaf kak belum sempat, belum ada waktu”. Hey saudaraku, setiap orang juga punya kesibukan, setiap orang juga punya tanggung jawab lain, setiap orang juga punya cita-cita yang ingin dicapai. Tapi GPAN tidak akan pernah berkembang tanpa pengorbanan, tidak akan maju tanpa dipacu, tidak akan bergerak kalau tidak ada yang menggerakkan. Siapa yang bisa melakukannya? Jawabnya cuma satu, kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.
Diakhir tulisan ini saya mengajak kepada seluruh pihak yang masih ada cinta di hantinya untuk lebih berfantaat bagi sesama lewat GPAN untuk kembali bercermin diri. Apakah selama ini kita sudah melakukan hal yang benar, sudahkah kita melaksanakan kewajiban yang suatu saat nanti akan diminta pertanggung jawaban. Atau bahkan sebaliknya? cuma diri kita yang tau. Toh semua akan kembali ke kalimat, setiap orang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang dia usahakan.
—Sekian terimakasih—