Pov Aku

Aku duduk di sisi lelaki dengan jaket biru langitnya. Menyuguhkan senyum terbaik yang bisa kuberikan.

“Maaf aku lupa kalau sekarang kamu lagi mode gampang lupa balesin chat, Sayang. Ahh iya sama lagi mode males ngetik chat juga. Hahaha,” tawa palsuku.

“Bukan gitu maksudku. Kamu kan bisa mengalaminya sendiri, belajar sendiri. Atau baca literatur di internet juga banyak. Kenapa harus tanya aku yang nggak mengalaminya,” sungutnya.

Aku diam, lagi-lagi aku berusaha tersenyum padanya, “Iya sayangku, tadi cuma tiba-tiba kepikiran buat tanya itu ke kamu. Oh iya dulu guruku bilang, kalau laki-laki itu harus berusaha mengerti banyak hal. Jadi nanti kalau perempuannya salah, ia bisa mengingatkan.”

“Perlu tau ya perlu tau. Tapi ya nggak tanya itu juga. Semua itu bisa belajar sendiri.”

“Iya sayangku maaf ya. Aku cuma mau diskusi aja sama kamu,” kataku yang kemudian menghela nafas beratku.

~

Ia, lelaki paling biru yang pernah aku kenal. Ia begitu tinggi nan jauh dariku. Dulu kukira hanya mimpi untuk menggapainya. Ternyata Tuhan lebih memilih membuat hatinya jatuh cinta padaku lalu meraihku. Dan di sinilah aku sekarang, di sisinya dengan sangat merasa beruntung memilikinya.

Bertahun-tahun sebelum sore ini, saat akhirnya dia marah lagi padaku. Aku setiap hari dibuat terkagum-kagum olehnya. Ia lelaki berwawasan luas dan terbuka. Seolah ia telah menjelajahi dunia, atau telah menyelami banyak masalah pada seseorang. Ia selalu bisa menjawab ratusan ketidaktauanku. Setiap pulang sekolah, rasanya ada yang aneh jika tak kutemukan pesannya di ponselku. Aku terbiasa tersenyum sepanjang malam hanya dengan mengingatnya hari itu.

Dia, lelakiku. Yang pernah kuabaikan cintanya. Yang dulu sangat mencintaiku. Namun, saat ini tidak lagi sama.

Tidak lagi kutemukan bahagianya saat bertemu aku. Tak lagi nampak di garis bibirnya sepotong senyuman saat di dekatku. Menyesalkah ia memilihku?

~

“Dulu aku sangat mencintaimu. Rasanya setiap hari ingin menemuimu.”

“Oh, ya?” kataku.

“Iya. Dulu rasa takut kehilanganmu begitu kuat. Tapi entahlah sekarang tidak lagi.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Mungkin karena aku laki-laki jadi rasa cinta itu setiap harinya berkurang. Aku tidak tau tentang perasaanmu. Tapi mungkin perempuan bisa menjaga rasanya tetap utuh atau semakin kuat.”

Aku diam.

“Karena terlalu sering bertemu, rasanya aku berpikir lebih baik kita bertemu sesekali saja setiap bulannya. Kan yang penting bertemu.”

Aku masih diam. Tanpa sadar aku menghela nafas dengan berat.

“Aku tidak lagi takut kehilanganmu karena aku tau kamu sudah mencintaku. Kamu milikku. Aku rasa akhir-akhir ini sering lupa membalas pesanmu. Rasanya aku malas mengetik pesan. Enakan kita langsung bicara lewat telpon.”

Aku menyerah. Air mataku tidak lagi terbendung. Aku mulai menangis tanpa suara.

“Hahaha gitu, ya, Sayang,” ucapku pelan tanpa tenaga.

“Iya. Aku juga sadar kalau sekarang jarang ngomong sayang ke kamu. Rasanya susah.”

“Hihihi kok bisa, Sayang?” tanyaku lagi.

“Karena sepertinya rasa cintaku berkurang. Tapi… Emm… Aku masih sayang kok sama kamu.”

Aku kembali mengingat pahitnya kata-katamu hari itu. Kamu mengucapkannya seolah yang kamu katakan bukanlah hal penting.

“Kamu kelilipan, ya?  Itu matanya berair.”

“Eh iya aku kelilipan. Makasih ya. Sayang.”

“Yaudah yuk kita pulang udah sore,” ajaknya yang kemudian berjalan tanpa lagi menungguku. Yang lalu kuikuti perlahan sambil sekuat tenaga menahan tangisku.

Malam ini, saat ia sibuk keluar dengan teman-temannya. Aku dengan pena dan kertas memo biru langit duduk di sisi ranjang. Lalu menulis surat untuk kekasihku, dia.

~~~

Katamu karena sering bertemu, rasa yang dulunya sangat cinta menjadi sekadar cinta. Rindu yang dulu sangat ingin bertemu, menjadi cukup bertemu sesekali dalam sebulan. Rasa kehilangan yang sebelumnya besar, sekarang hanya sekadar ada. Pesanku yang dulu sangat kau tunggu, kini lebih sering lupa kau balas. Semua tentangku berubah menjadi secukupnya.

Katamu juga, mungkin setiap harinya rasa yang dimiliki akan berkurang. Karena merasa telah menemukan yang dicari. Karena telah mendapatkan yang diinginkan. Karena telah bertemu yang dirindukan. Semua tentangku berubah menjadi biasa saja.

Itu opinimu, kataku.

Karena aku, tidak pernah memohon padamu untuk mencintai perempuanmu ini. Apalagi memaksamu menjadi tetap sama. Kamu tetap mencintaiku itu cukup, kataku.

Karena aku percaya pada rasamu yang walaupun akan terkikis oleh waktu, seperti katamu. Aku percaya pada setiamu untuk satu hati saja. Aku percaya, kamu pantas mendapatkan semua kepercayaan.

Tanpa kata pergi. Sekalipun rasamu untukku hilang suatu hari nanti. Satu hal akan tetap kujanjikan jadi milikmu, cintaku.

Aku akan memberi jeda untukmu dan hatiku. Cintailah perempuan lain yang juga mencintaimu. Perjuangkan dia seperti perjuanganmu mendapatkanku. Bahagialah dengannya dan abaikan aku semampumu.

Nanti jika suatu hari akhirnya dia yang terbaik menurutmu.  Aku akan mengikhlaskan janjimu untuk tidak pergi. Aku menyerah.

Terima kasih untuk setiap tawa dan luka yang ada.

Mojokerto, 22 April 2020.

Perempuanmu.

~~~

Surat yang kemudian kulipat dan kuletakkan di lemari kecilnya. Dengan judul di sampulnya, Dari Sudut Pandangku untuk Kekasihku.

Kuambil sebuah foto 6×9 di belakang ponselku. Lantas aku keluar dari rumahmu, menuju stasiun tanpa menantimu ingat padaku.

Selesai.

Princessthumbelina/GPANMOJOKERTO

Comments are closed.