Oleh : Dinda Citra Aprilia (Anggota GPAN Surabaya)
Sejarah perpustakaan Indonesia dimulai pada tahun 400-an yang berawal dari kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia seperti Kutai, Sriwijaya dan Singosari. Sedangkan di pulau Jawa, sejarah perpustakaan bermula pada kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan tersebut mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Selain itu di kerajaan lain, perpustakaan mulai didirikan untuk menunjang penyebaran agama karena dibutuhkan buku atau manuskrip keagamaan. Kemudiaan keberadaan perpustakaan semakin berkembang hingga ke pelosok negeri. Dari sejarah tersebut dapat kita lihat betapa peran perpustakaan sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang baik sosial, pendidikan, keagamaan bahkan keberadan perpustakaan digunakan untuk memberantas buta huruf, karena bermulanya sebuah perpustakaan pasti ditandai dengan dikenalnya tulisan.
Membaca adalah salah satu sarana untuk transfer ilmu dari bentuk tulisan kemudian dibaca dan dicerna oleh akal lalu menjadi pemahaman dan ilmu. Dan perpustakaan adalah salah satu tempat yang memfasilitasi kegiatan membaca. Itulah sebabnya perpustakaan dikatakan sebagai jantung pendidikan, karena dari tempat yang penuh dengan buku-buku tersebut ilmu dan pemahaman baru dapat kita peroleh. Dengan ilmu tersebut yang kemudian membantu menyukseskan proses pendidikan. Namun, jika kita melihat lebih jauh mengenai pembangunan perpustakaan di sekolah-sekolah di daerah pelosok Indonesia. Ada banyak sekali sekolah-sekolah yang masih jauh dari kata layak bahkan tidak memiliki perpustakaan sebagai salah satu fasilitas yang seharusnya dimiliki sekolah-sekolah pada umumnya. Data dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan persentase minat baca pada anak-anak Indonesia khususnya hanya 0,01%. Artinya, dari 10.000 anak hanya 1 anak yang suka membaca. Salah satu penyebabnya adalah karena kurang didukungnya fasilitas berupa perpustakaan. Dikutip Kompas.com, Selasa (22/06/2017) pegiat literasi asal Manggarai Barat, NTT, Wilfridus Babun, mengungkapkan perpustakaan di desanya hanya memiliki 50 buku. Mereka juga sangat kekurangan buku anak-anak. Dikatakan pula oleh Wilfridus Babun dalam wawancara bersama kompas.com pengunjung yang paling sering datang ke perpustakaan di desanya adalah anak-anak namun koleksi buku yang ada kebanyakan untuk pelajar SMA dan dewasa. Dari pernyataan beliau dapat disimpulkan bahwa sebenarnya minat baca anak Indonesia itu ada hanya saja karena fasilitas yang tidak memadai membuat semangat membaca mereka menjadi surut, sedangkan minat baca itu terbentuk karena terbiasa dilakukan. Namun jika sekarang fasilitas perpustakaan tidak tersebar merata hingga ke pelosok-pelosok desa di Indonesia maka jelas jika berakibat pada menurunnya angka minat baca anak-anak di Indonesia.
Oleh sebab itu, ketika perpustakan sulit untuk dijangkau keberadaannya maka hal yang perlu kita lakukan adalah dengan memulai minat membaca dari diri kita terlebih dahulu sehingga hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Bisa dimulai dengan membaca buku-buku pelajaran sekolah misalnya. Sehingga ketika suatu saat fasilitas perpustakaan itu dapat kita jangkau, maka akan lebih memudahkan bagi kita untuk memanfaatkannya sebagai jantung pendidikan karena kita pasti akan lebih terfasilitasi dengan keberadaan buku-buku di perpustakaan. Karena ketika fasilitas itu tersedia namun peminatnya tidak ada maka keberadaan perpustakaan itu bisa saja dikatakan sia-sia. Alternatif lainnya adalah mungkin kita bisa memanfaatkan keberadan perpustakaan keliling yang banyak diselenggarakan oleh pemerintah atau organisasi-organisasi tertentu.