Oleh: Retno Purwa
Menjelaskan adalah pekerjaan yang paling tidak kusukai belakangan. Kau tentu tahu alasannya. Ya. Aku masih sangat tidak ingin berbicara serius tentang apapun. Termasuk ‘kamu’.
Bagiku, segala sesuatu yang telah selesai tak perlu diingat. Dikenang boleh tapi sesekali saja. Aku malas sekali jika harus menceritakan apa yang kulakukan kemarin pada seseorang. Bahkan pada orangtuaku sekalipun. Buat apa? Agar mereka tahu? Kalau sudah tahu lantas apa?
Tunggu dulu. Jangan kau pikir aku anak durhaka yang enggan bercerita kepada orang tua tentang keseharianku di perantauan. Aku bercerita, tapi satu dua hal penting saja. Dan tak perlu lagi kukatakan, kau tentu paham bahwa kau bukan lagi sesuatu yang penting untuk kuceritakan.
Sayangnya, tidak semua orang mudah paham. Entah tidak paham atau sengaja tidak mau paham. Aku mulai bosan setiap kali orang-orang di sekitarku menanyakan perihal keberadaanmu. Perihal kabarmu bahkan bagaimana hidupmu. Sekali dua kali wajar. Tetapi terlalu sering juga cukup membuatku kesal. Dan lagi, mendengar nama seseorang yang dengan susah payah kau coba lupakan tentu sangat menyiksa, bukan?
Hari ini aku akan pulang. Setelah luka yang kuobati sendirian sudah benar-benar sembuh total. Setidaknya aku telah bisa tersenyum seperti layaknya orang normal.
Sepanjang perjalanan aku tak hentinya memikirkan jawaban kalau-kalau Mama menanyakan kabarmu. Mungkin akan kujawab: ‘Sehat, Ma.’ Dengan kemungkinan adanya serangan pertanyaan-pertanyaan susulan yang aku sangat enggan menjawab. Atau sebaiknya kujawab: ‘Kita udah lama lose contact, Ma.’ Ah, kukira keduanya akan tetap diikuti beberapa pertanyaan lanjutan. Tak bisakah tak usah ada pertanyaan?
Kereta Lodaya menyapa Jogja disambut rintik hujan. Di sela kerumunan orang yang tengah menunggu kedatangan kerabat, sahabat, atau kekasih hatinya, aku melihat sosok lelaki tua yang tersenyum dibalik topi kumalnya. Matanya setengah berair melihatku datang.
Papa. Meski tak pernah secara langsung mengatakan bahwa ia sangat menyayangiku, tapi aku tahu ia menyayangiku lebih dari apapun. Meskipun sebenarnya ia menginginkan anak pertamanya berjenis kelamin laki-laki, tapi ia tak pernah sekalipun kecewa atas kelahiranku, pun adik-adikku yang kesemuanya berjenis kelamin perempuan. Yang kutahu, ia adalah satu-satunya lelaki di dunia ini yang selalu berhasil membahagiakanku dan takkan pernah membuatku kecewa. Kukira ia takkan tinggal diam ketika seseorang menyakitiku. Sayang, kali ini aku sudah terlalu dewasa untuk sekedar mengadu padanya.
“Jogja akhir-akhir ini sering hujan.” Ia memulai percakapan yang akan berlangsung kurang lebih 30 menit sebelum akhirnya sampai di rumah. Percakapan dengan Papa tidak terlalu membuatku cemas. Ia tidak pernah membahas teman kencan bahkan sejak pertama kali aku punya pacar saat kelas 2 SMA. Bagaimana mau membahas, ia bahkan tidak pernah suka setiap kali aku menyebut nama pacarku di depannya. Kukira ia begitu karena tak yakin ada lelaki lain yang bisa mencintaiku sebaik dirinya. Mungkin ia benar.
Aku masih belum menemukan penjelasan tepat atau sekedar jawaban ketika nanti Mama menanyakanmu. Kau tahu, membuat mereka mengerti bahwa kenyataannya kisah kita telah berakhir jauh lebih sulit daripada sekedar berusaha melupakanmu. Seharusnya ini adalah tugasmu. Aku benar-benar menyalahkanmu karena telah menjadi lelaki terbaik yang diharapkan kedua orangtuaku.
Tapi, masihkah itu perlu? Sudahlah. Aku yakin Mama tidak keberatan jika Sena menggantikan posisimu. Semoga kehadirannya berhasil menghapus pertanyaan-pertanyaan di kepala Mama tentangmu. Biar saja mereka ngobrol dulu. []