Merayakan Hari Raya dan Pandemi Tidak Berkesudahan

Sudah beberapa bulan masyarakat Indonesia berada dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Situasi ini memaksa masyarakat untuk tetap beraktivitas namun dibatasi oleh adanya protokol kesehatan yang harus diterapkan setiap harinya. New normal, katanya.

Tidak terasa, bulan ramadhan berlalu begitu cepat. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi budaya saat bulan suci setiap tahunnya, tidak lagi bisa begitu saja dilakukan oleh banyak orang. Dari ngabuburit, berburu takjil, buka bersama dengan teman-teman, hingga sholat tarawih di masjid, masyarakat dipaksa untuk lebih baik berada di rumah saja untuk mencegah penyebaran pandemik semakin meluas.

Hari lebaran pun terasa tak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Tidak ada lagi tradisi mudik. Mereka yang hidup di kota, mau tidak mau harus menekan keinginan untuk bertemu sanak saudara di kampung halaman. PSBB membuat mereka tidak bisa kemana-mana, hanya telepon genggam yang menjadi penghubung diantara keduanya. Pada situasi seperti ini, mereka yang sehari-harinya hidup di tanah perantauan, lebih memilih untuk tidak pulang, demi menaati aturan yang telah dibuat. Sementara fisik mereka dijauhkan, namun dalam hati kecil sungguh merindukan moment lebaran kebersamaan dengan keluarga.

Aku memang bukan salah satu bagian dari mereka. Aku masih diberikan nikmat merasakan lebaran bersama di rumah dan dikelilingi oleh keluarga. Namun, aku juga dapat merasakan perbedaan kondisi demikian. Perayaan hari raya Idul Fitri tidak lagi disambut dengan “ingar-bingar”. Tak kutemukan lagi yang namanya takbiran keliling. Tak kutemukan lagi candaan sanak saudara yang ketika berkumpul membuat rumah akan terasa begitu gaduh.

Sepupu-sepupuku yang jauh-jauh hari merencanakan untuk pulang kampung dari Jakarta membatalkan keinginannya. Padahal sungguh, hanya satu tahun sekali aku dapat bertemu dengan mereka dan itu hanya ada di moment lebaran. Jangankan dari Jakarta, saudaraku lain yang tinggal di Sidoarjo pun tidak berani untuk keluar kota. PSBB katanya, akses tempat tinggal mereka ditutup.

Dibalik itu, beberapa hari terakhir banyak sekali kutemukan video-video di dunia maya yang menunjukkan grasak-grusuknya orang-orang. Salah satunya tentang pusat perbelanjaan yang kembali ramai. Masyarakat berbondong-bondong untuk membeli baju baru layaknya lirik sebuah lagu: “baju baru alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya”. Namun demikian, kupikir lanjutan lirik lagu tersebut tenyata dibuang mentah-mentah, “tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama”.

Aku tahu, mungkin dengan membeli baju baru adalah bentuk apresiasi dari diri mereka telah bekerja keras selama ini. Bisa juga merupakan bagian dari perayaan mereka akan datangnya hari raya idul fitri. Atau mungkin bagi sebagian orang, jika tak ada baju baru, maka tidak ada idul fitri. Lebih-lebihnya, “aku beli baju, maka aku ada”. Entahlah. Namun, satu yang kutahu. Ada atau tidaknya baju baru, idul fitri akan tetap berjalan.

Aturan yang ada dibuat untuk dilanggar. Sekumpulan orang-orang ini mungkin salah satu bagian masyarakat yang memiliki mazhab demikian. Tidak peduli merugikan orang banyak, kepuasan diri sendiri adalah hal yang harus diprioritaskan. Padahal, sejatinya orang-orang tidak akan peduli dengan apa yang kamu lakukan selagi itu tidak mengganggu ketertiban umum. Namun faktanya, banyak orang geram dan mengutuk kesembronoan mereka karena jelas hal ini menganggu ketenangan banyak pihak. Tidak panik memang baik, namun juga jangan menantang penyakit di waktu yang bersamaan.

Pada akhirnya, saya hanya bisa mengutip cuitan dari salah satu dosen filsafat favorit saya, Listiyono Santoso, di laman facebook pribadinya. Pandemi yang tak berkesudahan saat ini mungkin saja bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, negara tidak hadir memberikan jaminan dan keamanan. Kedua, negara sudah hadir namun masyarakat tidak disiplin menjalani protokol kesehatan yang telah dibuat. Ketiga, negara hadir di tengah kondisi masyarakat sipil yang sudah kehilangan kesabaran. Keempat, negara hadir setengah-setengah dan masyarakat liar membuat keputusan sendiri. Dan kemungkinan terakhir, dasar masyarakat sipilnya yang bebal dan sudah kehilangan akal sehat.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Vidia Oktaviana, anggota GPAN Regional Mojokerto.

Comments are closed.