Oleh: Retno Purwa
Menulis/me·nu·lis/ v 1 membuat huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya): 2 melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan.
Kutipan di atas diambil dari KBBI online (http://www.kbbi.web.id). Dua pengertian tersebut setidaknya sudah cukup menjelaskan poin penting yang terkandung dalam kegiatan ‘menulis’ secara sederhana. Jika keduanya digabungkan, akan diperoleh pengertian bahwa menulis adalah sebuah kegiatan melahirkan pikiran atau perasaan ke dalam serangkaian huruf dan angka yang membentuk sebuah tulisan. Pengertian boleh jadi sederhana, tetapi pemahaman untuk mempraktikkannya tentu tidak mudah. Nah, artikel ini akan memaparkan tentang beberapa kesulitan dalam menulis dan cara mengatasinya. Lanjut membaca yaaa… 🙂
Kesulitan pertama dan yang paling utama dalam menulis adalah ‘memulai’. Yaaa, memulai memang membutuhkan kemauan dan tekad yang kuat. Seringkali ide-ide bermunculan dalam pikiran, tetapi untuk memulai menuangkan dalam bentuk fisik berupa tulisan tidak semudah yang diangan-angankan. ‘Nanti, setelah selesai mengerjakan tugas ini, aku akan menulis tentang bla bla bla.’ ‘Sepertinya, topik tentang X akan menarik jika dituangkan dalam tulisan.’ Begitu seterusnya, tanpa ada upaya untuk menggoreskan tinta maka ide-ide itu hanya akan menguap begitu selesai diucapkan.
Jika tidak ingin ide-ide yang bermunculan itu menguap begitu saja, tulislah. Kebiasaan menuliskan ide ini bisa dimulai dengan selalu menyelipkan blocknote dan pena di dalam tas setiap kali bepergian. Atau, di era serba digital seperti saat ini, tentu kita dapat dengan mudah menuliskan ide-ide di aplikasi notes yang tersedia di hampir semua telepon pintar. Tidak harus berupa tulisan lengkap. Satu atau dua kalimat yang menggambarkan pokok pikiran saja sudah cukup untuk mengabadikan ide tersebut sebelum memasuki tahap selanjutnya. Naaah, tentu saja dengan catatan bahwa si empunya ide harus rutin membaca kumpulan ide-ide yang telah dituliskan dan memberikan sentuhan literasi agar tercipta tulisan lengkap yang matang.
Beralih ke kesulitan kedua. Setelah kesulitan pertama teratasi, masih ada kemungkinan kegiatan menulis ini berhenti di tengah jalan. Kemungkinan penyebabnya adalah ‘mental block’. (Bagi yang penasaran tentang apa itu ‘mental block’, nanti kita bahas di artikel selanjutnya, yaaa..) Sederhananya, ‘mental block’ ini berkaitan dengan ketidakpercayaandiri atau yang lebih umum kita kenal dengan sifat pesimis. Seorang penulis yang mengalami ‘mental block’ akan merasa tidak mampu untuk menghasilkan tulisan yang baik, sehingga tulisan yang pernah ia mulai akan mogol, atau setengah matang, dan berhenti di tengah jalan. Beberapa penulis menyebutnya tulisan premature, namun karena di sini kita sedang membahas tulisan yang ‘masih dalam proses’, maka kita akan menggunakan istilah setengah matang.
Kesulitan kedua ini sedikit lebih sensitif untuk diatasi. Setiap penulis pemula umumnya akan mengalami ‘mental block’ dalam proses penulisan karya-karya awal mereka. Entah itu karya berupa sastra, ataupun karya ilmiah. Solusi untuk kesulitan kedua ini cukup sederhana secara teori. Just do it! Lakukan saja, dan lanjutkan menulis sampai garis finish. 🙂 Intinya, bagaimanapun hasilnya nanti, jangan berhenti menulis selama ide-ide itu masih mengalir. Tulislah apapun yang mendukung pokok pikiran utama dan abaikan urutan kalimat pendukung untuk sementara. Toh, setelah tulisan itu selesai, kita masih bisa melakukan proses editing untuk menyempurnakan tulisan dan menghasilkan karya yang maksimal. So, keep on writing yaaa.. 🙂
Eh, ada tambahan sedikit nih. ‘Mental block’ ini berkaitan juga dengan apa yg disebut writer’s block. Yaitu kondisi dimana penulis kehilangan ide untuk melanjutkan tulisannya, sehingga terpaksa berhenti di tengah jalan. Ketika memasuki gejala ini, penulis lebih baik meninggalkan tulisannya sebentar dan meluangkan waktu untuk me-refresh otak, daripada memaksakan diri untuk menggali ide-ide dan melanjutkan tulisannya. Kondisi yang dipaksakan ini tidak akan menghasilkan konten tulisan yang maksimal dan berbobot. 🙂
Berhubung penulis artikel juga masih dalam tahap belajar, artikel kali ini hanya akan membahas sampai pada kesulitan ketiga -mungkin sebenarnya bisa lebih dari tiga.
Lanjut ke kesulitan ketiga dalam menulis -versi penulis artikel, yaitu menerima saran dan kritik dari orang lain. Setelah selesai melakukan proses self editing, atau mengedit tulisan sendiri, tentu akan muncul opini pribadi: ini adalah yang terbaik yang bisa saya tuliskan. Sampai pada tahap ini, penulis akan merasa bahwa tulisannya -yang telah diedit- adalah hasil akhir yang sudah maksimal, sudah sempurna menurut versinya sehingga penulis akan sedikit tersinggung ketika ada yang mengkritisi tulisannya. Dampak paling buruk yang mungkin terjadi adalah munculnya sifat pesimis (lagi) di dalam diri penulis. Padahal, boleh jadi kritik yang diberikan adalah kritik yang dapat membangun dan menyempurnakan tulisan si penulis, versi pembaca.
Untuk mengatasi kesulitan ketiga ini, penulis sebaiknya menyimpan tulisan yang sudah rampung selama beberapa saat (mungkin dalam hitungan hari), supaya euforia usai menyelesaikan tulisan sedikit mereda. Di tengah-tengah euforia keberhasilannya menyelesaikan tulisan, penulis biasanya akan sensitif terhadap saran dan kritik sehingga tidak akan efektif melakukan konsultasi pada fase ini. Setelah jeda beberapa hari, penulis bisa mengkonsultasikan tulisannya kepada orang lain, tidak harus kepada seseorang yang ahli, karena fungsi konsultasi di sini adalah untuk mengetahui seberapa menarik tulisan tersebut dari sudut pandang orang lain atau pembaca. Naah, sambil menyerap saran dan kritik dari pembaca, penulis sebaiknya membaca ulang naskah tulisannya dan menyempurnakan bagian-bagian yg dirasa kurang pas. Kunci keberhasilan tahap ini adalah: mau berbesar hati menerima saran dan kritik dari orang lain. Itu saja. 🙂
Well, sampai di sini, masih ragu menuangkan pikiran dan perasaan ke dalam tulisan? Semangat berkarya, sobat kreatif muda. 🙂