Mengingat Kembali Peran Literasi di Masa Lalu

Kata “literasi” akhir-akhir ini sering kali kita dengar. Meski literasi bukan kata yang baru, namun tidak dapat disangkal bahwa penyebutannya saat ini lebih sering digunakan. Secara sederhana, literasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat menulis dan membaca. Namun, jika kita mengacu pada definisi literasi saat ini, maka pengertian literasi tidak hanya sebatas demikian yang hanya tampak seperti permukaan dasar saja. Menurut UNESCO, literasi memiliki hubungan erat dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi bermacam-macam masalah. Maka dari itu, kemampuan dasar literasi (baca dan tulis) sangat dibutuhkan di kehidupan modern.

Jika kita mau untuk menengok sejarah, salah satu peran besar literasi bisa ditemukan pada proses perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan negara ini. Lahirnya golongan pemuda pada awal abad ke-20 menjadi saksi betapa pentingnya kemampuan literasi dimiliki oleh setiap orang.  Hadirnya sekolah-sekolah sebagai konsekuensi adanya politik etis, mulai sedikit mengurangi angka buta huruf. Walaupun pada pelaksanaannya, politik balas budi yang dicanangkan ini terdapat penyelewengan. Kehadiran sekolah-sekolah ini kemudian dimanfaatkan untuk mencetak tenaga kerja di bawah pemerintah kolonial Belanda dengan upah yang relatif murah.

Pendidikan Masa Kolonial
Sumber: sejarah.upi.edu

Disamping itu, tidak dapat dipungkiri pula bahwa adanya pendidikan tinggi kemudian melahirkan kaum intelektual yang mengubah sejarah negeri ini. Seperti di pelajaran sejarah yang telah kita dapatkan di sekolah menengah atas, strategi  mengusir penjajah yang sebelumnya dilakukan dengan perlawanan fisik berubah menjadi perlawanan dengan jalan organisasi dan diplomasi. Kemunculan kaum elit baru yaitu golongan intelektual yang mulai mengenal paham-paham luar membangkitkan kesadaran diri mereka. Buku-buku yang mereka baca dan ilmu yang mereka dapat dari sekolah menggugah kesadaran mereka bahwa negerinya harus bebas dari ketertindasan. Mereka kemudian berjuang melalui organisasi, dan inilah tonggak baru periode pergerakan nasional.

Dalam hal ini, terdapat dua hal penting yang bisa digarisbawahi. Pertama, betapa pentingnya peran pendidikan hingga memengaruhi kesadaran diri tiap orang bahwa manusia harus merdeka. Kedua, muncul dengan pesat organisasi-organisasi baik di bidang politik, sosial, agama, dan lainnya yang memiliki semangat yang sama yaitu persatuan. Organisasi-organisasi ini menuntut agar negerinya merdeka dan lepas dari penjajahan.

Selain hal diatas, hal yang tidak boleh luput adalah peran pers. Pers memiliki kontribusi besar bagi perjuangan kemerdekaan. Lewat pers, golongan intelektual menyuarakan ide dan aspirasinya. Tulisan-tulisan yang berisi kritikan atas kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda selalu menyulut semangat para pemuda untuk terus memperjuangkan kebebasan. Pers dijadikan sebagai alat perjuangan untuk menyampaikan gagasan kebangsaan.

Jika mengutip Ben Anderson, tulisan terkait dengan gagasan kebangsaan dan wacana kemajuan akan disebar ke banyak orang secara bersamaan dan serentak. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan orang-orang yang membaca tulisan tersebut terhubung satu dengan yang lainnya.  Gagasan yang dibaca tersebut dikonsumsi secara massal sehingga membentuk pola pikir yang sama, dan muncul kesadaran secara bersamaan. Pers mengambil peran penting dalam hal ini.

Jadi, sudah sangat jelas bahwa literasi adalah hal mendasar yang sangat penting bagi manusia. Pendidikan dapat menggugah kesadaran diri setiap orang untuk selalu memanusiakan manusia. Jangan batasi diri. Dan satu lagi, jangan malas membaca buku. Melalui buku, kita akan menemui banyak hal baru. Semakin banyak buku yang kita baca, semakin banyak pengetahuan yang didapat, dan semakin kita selalu berusaha untuk menjadi manusia bijak.

(Ditulis oleh Vidia Oktaviana, anggota GPAN Mojokerto)

Sumber:

Anderson, Ben. 2008. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Comments are closed.