Oleh : Nur Asma*
MASALAH SDM (Sumber Daya Manusia) dalam Proses pendidikan di Indoesia khususya di Sulawesi Tengah sudah lama menjadi wacana yang selalu dibicarakan dari waktu kewaktu. Pada setiap momen hari pendidkan nasional 2 Mei pun masalah ini selalu menjadi tema dialog panas diberbagai media cetak, elektroik bahkan sampai dikalangan petinggi. Intinya berkisar pada masalah, mau diapakan generasi bangsa kita ini, atau mau dibawah kemana arah pembangunan pendidikan? Sudah benarkah arah pendidkan kita saat ini? Entahlah.
Sebelum bangsa kita mencapai kemerdekaan, perdebatan mengenai arah pembangunan dan pendidkan sudah menjadi isu polemik sangat keras. Sebagian tokoh kita mengencam sistem pendidikan ala barat yang pada saat itu milai banyak diintroduksi dan diterapkan di tanah air, yang dinilai tidak memanusiakan manusia. Berdebatan itu sudah menjadi polemik kebudayaan bangsa kita dari tahu ke tahun. Menurut aktivis dan pergerakan, Dr. Sutomo dalam kutipan tulisannya yang tertuang dalam buku “Salam Indoesia” mengatakan bahwa sistem pendidikan ala barat megutamakan jasmani dan hanya mementingka kecerdasan akal, lupa akan jiwa. Akalnya dipakai untuk menaklukan alam, sehingga manusia merasa sebagai penguasa di alam semesta.pandangan ini diperkuat oleh Bagawan pendidikan KI Hajar Dewantara, yang juga merasa keberatan dengan adopsi sistem dan falsafah pendidikan barat.
Tidak ada ujung dari polemik kebudayaan tersebut. Malah saya menduga api polemik itu hingga sekarang masih berlanjut, kalau kita melihat bahwa dikalangan pakar pendidikan kita pun masih terus terjadi sila pandanga megenai apa makana, tujuan dan fungsi pendidikan dalam masyarakat. Bukankah telah kita ketahui bersama bahwa gencarnya pemerintah dalam merealisasikan program KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan KIP (kartu Indonesia Pintar) terhadapa masyarakat khususvya bagi peserta didik yang tergolong kurang mampu. Apakah program yang dicanangka tersebut sudah merata bagi generasi kita?
Entahlah pandangan ini mungkin terlalu ideal buat saya. Di masa Ki Hajar Dewantara pembangunan yang gencar dilakukan merupakan siakap ilmiah yang dianggap kurang responsif terhadap dinamika pembaguan yang telah dicanangkan dalam dalam target-target tertentu. Maka di masa kini dan masa akan datang dunia pendidkan harus mengenal yang namanya link and match. Dunia pendidikan harus nyambung dengan dunia pekerjaan. Pendidikan kererampilan digalakkan bebagai keterampilan dan motivasi dilakukan seagai salah satu bentuk kepedulian kami sebagai pemuda yang cinta akan bangsa dan negara demi mewujudkan Generasi bangsa yag cerdas dan bermartabat, karena kelajutan pedidikan anak bangsa itu menjadi tanggung jawab kami dimana akan kami upayakan dan laksanaka secara rutin dan terbuka.
Entah kenapa ketakutan ini terus terbayang. Pasalnya jika saya kembali mengingat sejarah tentang penerapan pendidika diera 1970-an, dunia pendidikan diramaikan dengan berbagai idiologi pendidikan radikal ala Amerika Latin. Idiologi ini hidup dikalanga LSM. Yang pastinya meurut saya inti dari idiologi ini adalah kritik terhadap corak dan sistem pendidikan yang dinilai sebagai gejala kapitalisme, dimana sekolah hanya membuka diri bagi orang-orang yang memiliki segudang penghasilan, sedangkan mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi , jarak tempuh berkilo-kilo meter ke Sekolah sama sekali tidak bisa menikmati bangku pendidikan, sekolah gratis bahkan ketersediaan fasilitas dan ruang belajar yang nyaman. Sungguh entah apa yang terjadi pada dinia pendidikan kita. Saya tidak tahu sampai kapan idiologi ini akan terus berkembang. Karna realitanya, hingga sampai saat ini masih ada penerapan pendidikan yang bercorak kapitalisme di negeri kita. Entahlah.
Di ujung senja perjuangan, saya tetap optimis bahwa masih banyak lembaga-lembaga pendidikan yang digarap oleh pemuda-pemudi tangguh, kalangan aktivis yang mungkin bisa disebut sekolah terbuka atau bisa disebut sebagai sekolah inspirasi, teras inspirasi dana masih banyak lagi kelas-kelas yang menginspirasi generasi para penerus bangsa. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berpolemik tentang idiologi-idiologi yang harus kita terapkan terhadap generasi kita. Yang kita betuhkan sekarang yakni bagaimana kepeduliaan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, mari kita bahu membahu untuk melakukan yang terbauk demi mencerdaskan generasi bagsa kita melalui pemerataan pembangunan, pemerataan pendidikan dan penerapan model pemelajaran dengan memberikan penguatan moral dan akhlak yang baik bagi generasi penerus bangsa. Saat ini kita tidak ada alasan dan ketakutan lagi untuk mendidik generasi kita, karna kita sudah memiliki UU Sisdiknas dan perangkat peraturan pemerntah yang memperjelas arah dan corak pendidikan kita. Mari megabdi untuk Bangsa dan Negara. Semangat Megabdi.
Penulis adalah bendahara umum Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN) Regional Kota Palu. Opini ini telah dimuat di tabloid Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Qalamun IAIN Palu edisi X Mei 2017