Oleh: Nur Asma*
BISAKAH kita membayangkan anak-anak yang kelak akan menjadi penerus, hidup tanpa sekolah? Di hari kemerdekaan Bangsa Indonesia ke-72 Tahun, rasanya Indonesia belumlah merdeka. Entahlah, saya ikut larut dalam kesedihan anak-anak kecil yang menangis karena akan kehilangan sekolah bahkan kehilangan tenaga pendidik. Tentu apa yang akan menimpa mereka adalah mimpi buruk di siang hari. Bagaimana mungkin semangat nasionalisme yang tertanam dalam diri seketika hilang karena kurangnya dukungan dan motivasi dari pemerintah untuk tetap mempertahnkan mutu pendidikan hingga ke pelosok Negeri khususnya di Desa Kalora, kecamatan Kinovaro, kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Logika dari realita dilapangan sangat sederhana, bahwa kepentingan bisnis lebih penting dari pada pendidikan anak-anak. Dan ini terjadi ketika kita melihat pendidikan di daerah pelosok dengan kondisi satu sekolah, satu musholah bahkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap tenaga pendidik. Dengan kasus ini, saya tidak bermaksud menuduh Pemda setempat kehilangan hati nurani. Sebenarnya yang mana harus kita prioritaskan, investasi generasi masa depan atau investasi ekonomi? Kalau kita berfikir pragmatis pasti memilih yang kedua dengan resiko kehilangan aset masa depan yang jauh lebih berharga, yaitu anak-anak cerdas, berakhlak calon pemimpin bangsa.
Mungkin kita bisa bercermin pada pepatah “Kalau kita menanam sayuran kita akan segera memanen hasilnya dalam waktu tiga bulan, dan setelah itu tanamannya habis. Kalau kita menanam kelapa kita harus bersabar 7-10 tahun kedepan, tapi sekali berbuah akan terus memberi hasil dalam waktu yang panjang, dan kalau kita mau hasil yang lebih panjang lagi hingga 100 tahun, kita harus menanam Manusia. Itu berarti kita harus mempedulikan arah pendidikan bagi anak-anak lebih dari apapun”.
Sejak lama kita mengeluh bahkan mengira bahwa setelah Bangsa Indonesia merdeka lebih dari 71 tahun yang lalu, kita juga belum mampu bersaing baik dari segi pengetahuan bahkan teknologi dengan negara-negara lain. Jepang, Cina, dan Korea sering dijadikan contoh sebagai negara yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun mereka cepat menjadi negara percontohan sebagai arah ekonomi dan pendidikan dunia. Ini karena mereka menyadari bahwa pentingnya menanam manusia. Entahlah, apakah sistem pendidikan yang telah kita terapkan belum mampu bersaing? Ataukah benar kualitas Sumber Daya Manusia yang belum bisa bersaing di negara- negara maju? Entahlah.
Tidak bisa dipungkiri, memang benar pendidikan bukan hanya masalah orang tua tapi masalah bangsa. Ketika kita berbicara tentang bangsa, berarti kita semua adalah Stakeholder. Tidak ada dari kita yang boleh mengabaikan tentang pendidikan khususnya bagi anak-anak pelosok yang mungkin tidak sama sekali tersentuh oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya malu pada kondisi seperti ini. Padahal pemerintah sendiri sebenarnya sudah menunjukan tekad yang besar untuk membangun dunia pendidikan.
Semoga di tengah kesibukkan kita tepat di hari kemerdekaan Indonesia yang ke-72 tahun ini, kita tetap menjaga dan mengasah hati nurani sehingga tetap mendengar tangisan anak-anak generasi penerus bangsa yang terancam tidak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman karena tempat belajar mereka yang kurang nyaman serta karena mereka tidak mendapatkan guru yang bisa membimbing mereka dengan ikhlas tanpa mengharap balasan. Kalau tidak kita siapa lagi? Dan kalau tidak sekarang kapan lagi? Saya tetap optimis dan yakin tanpa pemerintah kita bisa bergerak untuk jayakan generasi bangsa. Dirgahayu Indonesia ke-72 tahun. Merdeka Indonesiaku.
Penulis merupakan Bendahara Umum Gerakan Perpustakaan Nusantara (GPAN) Regional kota Palu.