Sebuah cahaya redup keluar dari jendela matanya. Bulan yang menerangi malam gelap seolah menjadi prioritas dalam hidupnya. Sudut-sudut kampung, lekukan jalan, rumah hunian dan secuil daratan terslimuti air laut, yang entah tersebab apa daratan itu berubah. Desa Tambakrejo-lah harapan yang ingin terterangi malam itu.
“Waktu bapak muda, sering sekali kejar-kejar di sana.” Sembari menunjuk hamparan air di ujung desa.
“Loh! Itukan air pak?” Sanggah Ragil.
“Dulu itu daratan. Ujung desa itu bukan air laut, tapi tanah yang luas, masih sangat lelah untuk kejar-kejaran sampai bibir pantai. Rumah-rumah ini juga sudah tiga kali ditinggikan atapnya.”
“Bisa diulur ya pak rumahnya?”
Bapak hanya mendesah sembari menyeruput kopi panas, ditemani hembusan malam angin laut. Di daratan yang telah berubah menjadi rawa asin. Rumah-rumah nampak berdiri di atas air. Bukan rumah apung, tapi air telah mendesak menjadi bagian desanya.
**
Cerita Pak Diman menjadi cerita sejarah yang tak berterima. Apa yang didengar tak sesuai dengan tempat bermain Ragil saat ini. Ragil beserta anak-anak desa hanya bisa menikmati kejar-kejaran di jalan yang bercor tinggi, berbagi dengan lalu-lalang kendaraan. serta main dakon di bangunan kecil sumbangan perusahaan, yang lebih mirip gazebo.
Pagi di desa, para warga kampung pasti tak lepas dari suara-suara ayam, kambing, burung-burung kecil dan aroma-aroma yang menyegarkan badan. Warga pun biasa duduk-duduk di belakang rumah sembari menyambut jingganya mentari. Namun, di Tambakrejo bau amis dan kepungan air laut-lah yang selalu menemani pagi, siang, sore hingga malam mereka.
Bila hujan datang, desa pinggiran sungai selalu mengkhawatirkan kondisi permukaan sungai. Sungai menjadi kerinduan pun kekhawatiran mereka. Di Tambakrejo, Kerinduan dan kekhawatiran, mereka kabarkan kepada purnama. Persis, seperti para penyair tuliskan. Dan air-lah yang menjadi perbincangan setiap purnama datang.
Hamparan Mangrove selalu meraka harapkan tumbuh besar. Mereka berharap Mangrove dapat memagari air yang berbondong-bondong masuk desa. Entah, kapan Mangrove sumbangan itu akan tumbuh tinggi dan lebat.
**
Aroma asin dan amis air larut semerbak menusuk hidung. Pak Diman sejenak menghentikan waktu. Menaikkan kadar harapan kepada anaknya, si Ragil. Bocah bau kencur, yang hanya paham pelajaran kelas dua SD.
Ragil, sekedar paham bahwa desa adalah tempat bermain. Untuk hunian, tempat jagongan penuh kehangatan dan berkembangnya rasa kekeluargaan, tak pernah ada dalam pikirannya.
Apalagi persengketaan antara tambak-tambak warga desa dengan perusahaan. Tak pernah ia jadikan beban masalah yang mengancam. Seperti kasus Pak Sumo yang mendekam di penjara 4 bulan silam. Karena mati-matian membela lahan tambak yang menjadi satu-satunya sumber kehidupan keluarganya. Baginya, bermain adalah satu-satunya pikiran yang harus terencana matang dan tersusun rapi untuk hari ini dan esok.
“Pak Diman lagi momong?” Tanya Pak Junar mendekati gazebo kecil di samping Kanal.
Pak Junar yang kebetulan lewat sengaja mampir gazebo untuk bergabung menikmati malam dan deretan kapal yang sedang terparkir. Pak Diman mempersilakan duduk disampingnya. Kopi teko yang sudah menjadi kebiasaan persediaan di gazebo, ia tuangkan.
“Silakan Pak Jun! Ini lo lagi mengenang masa lalu kita kejar-kejar disana itu.” Sembari menunjuk tempat yang ia kenang.
Pak Junar mengangguk sembari mengambil secangkir kopi yang di berikan Pak Diman. Tak lama berselang Pak Diman melanjutkan tanya hangatnya pada Ragil.
“Le! Kamu punya cita-cita apa?”
“Pengen punya rumah yang bisa diulur pak!” Sembari fokus dengan mainannya.
Pak Diman terkaget. Pak Junar yang baru datang melongo, berusaha menalar jawaban spontan anak kecil yang sedang bermain mobil-mobilan di meja.
Frengki Nur Fariya Pratama GPAN Ponorogo