Oleh. Windy A. Alicia Putri
Apa yang terlintas di benak ketika mendapati dua kata “Indonesia” dan “minat baca”?
Sebagian besar dari kita tentu akan menjawab dengan satu kata, “rendah”.
Ya, tidak heran mengingat sudah terlalu banyak tulisan yang mengutip data penelitian UNESCO yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen yang berarti di antara 1000 masyarakat Indonesia, hanya 1 orang yang suka membaca. Tapi, penelitian itu dilakukan sekitar tahun 2012 yang berjarak kurang lebih enam tahun dari sekarang. Jadi, pertanyaannya apakah penelitian tersebut masih relevan? Ya, okelah saya tahu bahwa menyanggah studi ilmiah haruslah dengan bukti ilmiah pula, sebuah penelitian lain yang bisa dipertanggungjawabkan. Belum ada memang, penelitian yang menyatakan sebaliknya. Sebab, mungkin data UNESCO masih bisa dianggap benar.
Namun, berdasarkan pengalaman aktivis yang bergerak di bidang literasi, sebagian di antaranya menyatakan bahwa sebenarnya minat baca masyarakat Indonesia tidaklah rendah, hanya karena keterbatasan akses saja yang mendorong kurangnya budaya membaca. Bahwa harga buku yang tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat menyebabkan buku tidak masuk prioritas yang perlu dibeli setiap bulan. Serupa dengan pernyataan ini, POS Indonesia dalam surat edaran Pustaka Bebas Bea (program kirim buku gratis setiap tanggal 17) menuliskan kalimat pembuka seperti ini,
“Minat baca rakyat Indonesia sebenarnya tinggi, sama tingginya dengan bangsa lain, termasuk yang sudah maju yang nenek moyangnya tak sanggup menyusun epos besar dan membangun kompleks candi megah. Tapi minat baca tinggi ini menjadi rendah oleh akses yang buruk, oleh jumlah dan mutu bacaan yang tidak memadai.” dan saya lebih percaya versi yang ini. Sederhana saja, orang-orang yang mengatakan kekontradiksian data UNESCO adalah orang-orang yang berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, orang-orang yang lebih tau kondisi nyata di lapangan seperti apa. Sementara pihak yang lain hanya melakukan survei sekitar enam tahun silam.
Nah, terlepas dari apakah minat baca masyarakat rendah ataukah sebenarnya malah akses buku yang terbatas, faktanya membaca memang tidak masuk dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia. Padahal membaca merupakan salah satu cara meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Bahwa membaca berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia. Hal inilah yang kemudian mendorong Komunitas GPAN Regional Malang menggelar agenda Galeri Baca di Car Free Day Ijen secara rutin setiap dua minggu sekali. Galeri Baca pada tahun ini akan dimulai pada minggu ketiga bulan Februari, bertempat di sekitar kawasan Car Free Day Ijen, kota Malang. Buku-buku yang tersedia meliputi buku-buku anak dan umum, di mana setiap pengunjung yang datang diperbolehkan membaca buku sebanyak yang mereka inginkan.
Galeri Baca ditujukan untuk menjembatani masyarakat dengan budaya baca. Sebagai upaya menggugah mereka yang memiliki minat baca rendah, serta dalam usaha menyediakan fasilitas buku gratis untuk dibaca bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses bahan bacaan. Kegiatan ini juga sebagai wujud kepedulian pemuda/i bangsa terhadap kondisi Indonesia terkini dan bagaimana Indonesia ke depannya dibentuk. Melalui menebarkan virus membaca bagi siapa saja, terutama anak-anak (sebagai generasi penerus bangsa).
Hanyalah sebuah langkah sederhana, jika dibandingkan dengan luas teritori kota Malang beserta jumlah penduduknya yang tidak sedikit. Namun, upaya ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar, meski perubahan yang dihasilkan tidak cukup signifikan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Setidaknya, pemuda/i ini tidak hanya sekadar menuliskan dan membaca bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Tidak saja sekadar melihat dan mengamati bahwa akses bahan bacaan masyarakat terbatas, tetapi mewujudkan rasa peduli dengan turut berpartisipasi secara langsung dalam mengatasi permasalahan viagra pas cher yang terjadi di masyarakat.