Digitalisasi Zaman, Dakwah Virtual Santri Milenial

posted in: Esai | 0

Mengutip penuturan Gus Mus melalui akun media sosialnya “Santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan).”

Mengacu pada pengertian tentang santri di atas bahwa santri adalah orang yang yang menuntut ilmu agama pada seorang kiai. Maka bagaimana bila dikatakan santri sekarang bisa hidup tanpa pesantren? ya, tanpa tempat berasrama.

Di zaman yang serba modern atau yang sedang ngetrend dengan sebutan generasi milenial ini, tidak satupun orang yang bisa lepas dari gawai mereka masing-masing. Gawai seakan menjadi kebutuhan bagi setiap kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia sekalipun. Kini hanya dengan benda kecil itu kita bisa melakukan apa pun, mulai dari pesan makanan, kirim barang, jual beli produk, pesan tiket hingga belajar atau ngaji online.

Metode dakwah di era milenial ini harus selalu ditekankan untuk menunjang pembentukan karakter masyarakat yang santun dan bermoral. Hal ini menjadi sangat penting sebab banyak kalangan masyarakat khususnya anak muda yang tidak bisa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk hal positif malah terjerumus dan terseret oleh arus negatif globalisasi. Sampai-sampai membuat para pemuda yang harusnya menjadi harapan bagsa itu, bermoral brandal tanpa kasantunan. Bukannya menjadi harapan emas tapi malah menjadi sampah masyarakat dan virus bagi pemuda yang lain.

Seiring dengan fungsi Islam rahmatan lil ‘alamin—sebagai rahmat bagi alam semesta. Strategi dakwah harus terus dikembangkan tanpa terbatas ruang, masa dan media. Para pemuda Islam, khususnya para santri, yang  sudah dibekali dengan berbagai ilmu agama dan kajian kitab kuning, serta berbagai budaya pesantren yang menjadi karakter pada setiap santri. Yang santun, mandiri, disiplin, dan berjiwa kegotongroyongan. Santri adalah harapan para masyarakat yang nantinya akan menjadi lentera kehidupan saat terjun ke dalam tengah-tengah masyarakat.

Selain berdakwah secara tatap muka. Akan lebih efektif jika para santri dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dan fasilitas berbagai media sosial sebagai ladang dakwah para santri dalam mewujudkan masyarakat yang santun dan bermoral. Jadi jika dulu para kiai dan ustadz hanya bisa berdakwah melalui kajian kitab klasik di pesantren atau asrama secara tatap muka. Kini para kiai dimudahkan dengan metode dakwah virtual atau daring. Dengan memanfaatkan televisi, dan berbagai media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook dan lain-lain.

Hal ini terbukti dengan banyak kiai-kiai atau bahkan ulama yang bermunculan di YouTube dengan ribuan bahkan jutaan view. Sebut saja Gus Baha. Ulama asli jebolan pesantren itu, menjadikan internet sebagai media untuk mengkaji kitab-kitab kuning, sekaligus menyebarkan syariat Islam. Dan tanpa disangka kini Beliau telah ditonton oleh masyarakat muslim seluruh dunia. Ini membuktikan bahwa jangkauan dakwah dari media sosial sangatlah luas.

Selain dakwah dengan bentuk visual. Media sosial juga bisa digunakan sebagai media dakwah dalam bentuk tulisan, baik cetak maupun elektronik. Para santri bisa memanfaatkan media tulis seperti pembuatan blog pembuatan grup WhatsApp untuk berdiskusi masalah agama atau pembuatan majalah pondok yang membahas tentang kajian-kajian agama lalu disebarluaskan ke masyarakat.

Oleh sebab itu para santri modern, tidak seharusnya hanya dibekali dengan ilmu agama saja. Ia juga harus pandai dan bisa memanfaatkan teknologi sebagai media pengembangan masyarakat yang bermoral. Dan untuk menjawab tantangan zaman itu, kini banyak pondok-pondok pesantren yang tidak hanya membekali santrinya dengan ilmu alat—nahwu shorof—dan agama, tapi juga dengan dibekali ilmu teknologi. Yang nantinya akan membawa pengaruh besar bagi pengembangan pengembangan masyarakat Islam di era modern ini.

Dakwah melalui jaringan internet dinilai sangat efektif dengan berbagai alasan, diantaranya.

1. mampu menembus batas ruang dan waktu

2. Pengguna internet yang semakin meningkat drastis

3. Kiai juga mampu merespon dengan cepat setiap polemik dan konflik yang beredar di masyarakat.

Terlepas dari itu semua, budaya pesantren yang melekat pada jiwa santri itu sendiri harus tetap dijaga tanpa boleh tergerus oleh zaman karakter disiplin, tawadhu, mandiri juga kegotongroyongan santri harus dilestarikan dan bahkan ditularkan saat terjun ke dalam masyarakat agar nantinya terbentuk masyarakat yang sopan bermoral dan melek digital.

Jika strategi dakwah secara virtual dan tatap muka itu bisa dimanfaatkan oleh para santri secara optimal, tidak menutup kemungkinan masyarakat Indonesia akan berubah menjadi bangsa yang bermoral, beriman dan berintelektual.

Comments are closed.