[Cerbung] Cinderella, POV Ibu Tiri

Menjadi janda dengan dua orang putri bukanlah hal yang mudah. Mencari sesuap nasi untuk diri sendiri saja seringkali absen, apalagi kini diriku ditinggali dua orang putri yang pastinya butuh makan. Tapi waktu terus berjalan, 17 tahun sudah kulalui hidup bertiga tanpa seorang suami. Suami yang entah hilang kemana.

Kini kedua putriku tumbuh menjadi remaja yang cantik jelita. Satunya memiliki tubuh yang teramat kurus, bernama Sulung, dan satunya memiliki tubuh yang cukup tambun, bernama Bungsu. Sayangnya mereka tak bisa menikmati masa remajanya karena minder dengan keadaan keluarga yang seperti ini.

Segala cara kulakukan untuk membahagiakan kedua putriku. Segala cara pula, seperti kudandani diri mereka agar tetap memiliki rasa percaya diri berteman dengan sebayanya. Namun ternyata malu dan minder tidak bisa ditutupi dari wajah mereka.

Beruntunglah beberapa hari setelah ulang tahun kedua putriku, ada seorang bangsawan kaya raya yang juga baru saja ditinggal oleh istrinya datang menemuiku. Aku tak tahu darimana ia bisa mengetahui diriku. Lebih mengherankannya lagi, ia memiliki niatan untuk menikah denganku. Entah mimpi di siang bolong atau memang Tuhan telah berbaik hati mengabulkan doaku yang sejak lama masih dipending oleh-Nya. Intinya kini aku bahagia dan langsung mengabari kedua putriku.

“Sulung, Bungsu, kemari!” panggilku dengan tidak sabar.

“Iya Bu, ada apa sih kok kayaknya penting banget?” sahut Sulung.

“Penting banget ini, kita akan menjadi orang kaya raya! Ada seorang bangsawan yang melamar Ibu tadi!”

“Wah beneran, Bu? Aku bisa dong beli tredmill biar kurus, terus bisa beli obat diet juga, aku juga beli korset ah! Pokoknya gimana caranya aku harus langsing dan seksi!” sahut Bungsu dengan mata berbinar.

“Ih kamu, Bungsu! Pikirannya ngecilin badan aja!” ujar Sulung tak mau kalah.

“Iya dong, biar bisa ditaksir sama pangeran, dan kita hidup bahagia, yey!”

“Sudah, sudah, jangan ribut! Sekarang ibu mau kalian beres-beres, karena setelah ini kereta kuda yang menjemput kita akan datang!” leraiku.

“Memang kita mau kemana?” ujar mereka bersamaan.

“Kita akan pindah ke rumah Ayah tiri kalian.”

“Yeeeeyy!” sorak mereka berdua. Akhirnya setelah sekian lama tak kulihat tawa bahagia mereka.

Setelah sampai di rumah calon suamiku, aku terkaget bahwa istrinya juga meninggalkan seorang putri yang amat cantik jelita. Cinderella namanya. Pantas sekali dengan wajahnya yang indah dipandang itu.

“Selamat datang Ibu, selamat datang Kakak, akhirnya Cin punya teman di rumah ya, Yah?” sorak gadis itu dengan wajah bahagia.

Tingkah lakunya yang santun membuat kecantikannya teramat sempurna. Tetapi sepertinya kedua putriku tidak begitu suka dengannya. Aku memahami perasaan mereka, mungkin rasa iri telah menyelimuti hati mereka karena melihat tubuh, wajah, dan tingkah laku Cinderellah yang cantik nan santun.

Tepat setelah seminggu pernikahanku dilaksanakan, suamiku izin untuk berlayar ke negeri sebrang. Rindu dan rasa kehilangan tentulah menyelimuti. Tapi dengan harta yang begitu banyak, semua rasa itu terobati. Melihat kedua putriku tersenyum bahagia dan tidak minder adalah kebahagiaan yang tiada duanya bagiku.

“Hati-hati ya, Sayang! Aku teramat menunggu kembalimu!” ucapku sembari berurai air mata.

“Iya, Sayang, secepatnya aku akan kembali. Aku menyayangimu!” ujarnya disertai kecupan tanda perpisahan.

Selain santun dan cantik, Cinderella juga anak yang rajin serta cekatan. Segala pekerjaan rumahku dibantu olehnya. Sementara kedua putriku? Ah, mereka lebih asyik menikmati harta-harta yang sebelumnya tak pernah mereka miliki. Tapi tak mengapa, toh kebahagiaan mereka, kebahagiaanku juga. Namun tak bisa dipungkiri jika aku juga menyayangi putri tiriku ini. Hanya saja kedua putri kandungku selalu saja cemburu dan marah jika aku memuji atau sekedar mengajak bercanda Cinderella. Bahkan mereka menyuruhku untuk tidak membantu Cinderella melakukan pekerjaan rumah, dengan dalih kasihan diriku yang sudah renta.

Beruntungnya Cinderella mau melakukan tugas rumah dengan cekatan. Namun lama kelamaan diriku juga merasakan kenikmatan tersendiri ketika menyuruh Cinderella melakukan tugas rumah tangga dan memarahinya, meskipun seringkali bukan dia yang salah. Karena dari situ, kedua putri tersenyum bahagia. Maka tak jarang Cinderella ku siksa karena tak ada Suamiku. Pun dengan kedua putriku, mereka semangat sekali untuk menyiksa Cinderella. Aku pun hanya membiarkan dan ikut merasa senang jika kedua putriku senang. Kini aku seperti mempunyai budak di rumah, yang bisa disuruh-suruh dan disiksa sesuka hati.

“Bu, besok katanya ada pesta ya di Istana?” tanya Sulung.

“Iya, tadi prajurit raja kemari memberitahukan itu.” sahutku sambil melanjutkan menata rambut.

“Ciiiinn, dandanin aku sekarang!” ujar mereka berdua bersamaan.

Aku hanya tersenyum puas. Melihat Cinderella yang tersiksa memang bukan sebuah kebahagiaan untukku, tapi jika itu kebahagiaan untuk kedua putriku, maka itu akan menjadi kebahagiaanku juga akhirnya.

Bersambung…

Karya dari Shintya, Anggota GPAN Regional Mojokerto.

Comments are closed.