Oleh: Subhan Yazid
Layaknya hal lain yang baru kita rasakan keberadaannya setelah ia hilang, hutan nampaknya bernasib demikian. Kita baru sadar bahwa kita memiliki hutan yang sangat luas, setelah 684.000 hektar hutan Indonesia tiap tahunnya ‘hilang’, baik karena kebakaran, alih fungsi lahan, maupun penebangan liar. Berdasarkan data dari Global Forest Resources Assessment (FRA), Indonesia menempati peringkat kedua dunia tertinggi kehilangan hutan setelah Brasil yang berada di urutan pertama.[1] Meski hilang di sini tidak berarti lenyap sepenuhnya, keberadaan hutan yang kian ‘langka’ perlu menjadi perhatian, agar ia tak bernasib sama dengan satwa-satwa purba yang hanya menjadi legenda.
Indonesia disebut sebagai megadiverse country karena memiliki hutan terluas dengan keanekaragaman hayatinya terkaya di dunia. Hutan Indonesia merupakan rumah dan perlindungan terakhir bagi kekayaan dunia yang meliputi 12 persen spesies mamalia, 7,3 persen spesies reptil dan ampibi, serta 17 persen spesies burung dari seluruh dunia. Hutan Indonesia yang luas memegang peranan penting dalam menjaga kestabilan iklim dunia melalui proses fotosintesis tumbuh-tumbuhannya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata hutan sebagai tanah luas yg ditumbuhi pohon-pohon dan tumbuhan. Bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya, hutan adalah sumber penghidupan. Bagi satwa yang hidup di dalamnya, hutan adalah rumah. Bagi bumi, hutan adalah paru-paru, tempat pertukaran karbon dioksida (CO2) dan Oksigen (O2). Dalam kaitannya dengan keseimbangan iklim, hutan memiliki peran penting sebagai reservoir karbon, penampung air tanah, filter terhadap emisi dan polusi, serta pencegah berbagai bencana alam. Dari berbagai peran tersebut, dapat dilihat siapa saja yang akan menjadi korban secara langsung maupun tidak langsung dari perubahan kondisi hutan.
Perubahan Iklim
Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus dapat memahami apa yang dimaksud dengan “iklim” dan apa perbedaannya dengan “cuaca”. Perbedaan antara cuaca dan iklim adalah pada rentang waktunya. Cuaca adalah kondisi sehari-hari yang terjadi di atmosfer, sementara iklim adalah karakteristik atmosfer selama periode yang relatif lama, seperti beberapa dekade atau abad.[2]
Ketika berbicara tentang perubahan iklim, kita berbicara tentang perubahan rata-rata dari cuaca harian pada jangka yang panjang. Kita mungkin mendengar para orang tua berkata bahwa saat ini mereka merasakan musim panas yang lebih panas dari dulu ketika mereka masih muda. Perubahan suhu yang berlangsung di musim panas beberapa waktu terakhir dapat menunjukkan iklim yang telah berubah dibandingkan masa muda para orang tua tersebut. Jadi kita dapat mendefinisikan secara ringkas yang dimaksud dengan perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca dalam jangka panjang.
Atmosfer bumi terdiri dari beberapa jenis dan lapisan gas. Salah satu gas yang penting adalah karbon dioksida, umumnya dikenal sebagai CO2. Kegiatan manusia seperti manufaktur, transportasi dan penebangan hutan menyebabkan terjadinya pelepasan karbon dioksida ke atmosfer. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida dan gas lainnya, membuat atmosfer menahan lebih banyak panas dari matahari, sehingga meningkatkan suhu di bumi yang mengakibatkan pemanasan global. Kondisi ini juga dikenal sebagai efek gas rumah kaca.
Karbon dioksida memiliki pengaruh lebih besar pada pemanasan global dibandingkan gas lainnya, karena proporsinya yang lebih banyak diantara gas lainnya di atmosfer. Selanjutnya, temperatur di atmosfer sebagai konsekuensi dari kuantitas kandungan karbon dioksida yang terkansung di dalamnya akan sangat menentukan cuaca dan pola iklim. Sehingga perubahan tingkat kandungan karbon dioksida di atmosfer dapat memicu perubahan yang tak terduga dalam sistem cuaca dan kemudian pada pola iklim bumi.
Deforestasi dan perubahan iklim
Hutan, berikut tanah yang berada di bawahnya, yang ada di seluruh dunia saat ini diperkirakan menyimpan lebih dari satu triliun ton karbon. Jumlah ini dua kali jumlah karbon yang ada di atmosfer atau setara dengan berat sekitar 2.000 kali berat total dari 7 miliar manusia yang hidup di dunia, dengan perkiraan berat rata-rata 70 kg per orang.[3] Ketika hutan mengalami peningkatan kepadatan maupun luas, hutan akan berperan sebagai “penyerap karbon”, karena mereka mengambil karbon yang ada di atmosfer dan menyimpannya.
Sebaliknya, hutan juga dapat menjadi “sumber emisi karbon” dan penyebab perubahan iklim, jika semua hutan ditebangi, diubah fungsinya dan hilang. Kita dapat membayangkan berapa besar karbon dioksida yang akan dilepaskan kembali ke atmosfer dalam kondisi yang demikian. Hal ini akan menyebabkan perubahan yang besar pada cuaca dan sistem iklim. Mempertahankan hutan secara utuh akan membantu mengurangi emisi karbon dioksida di atmosfer dan juga memperlambat efek perubahan iklim.
Deforestasi atau penurunan kapasitas hutan di berbagai belahan dunia memberikan kontribusi 12-17% emisi karbon dioksida secara global setiap tahun. Sehingga, jika kita kehilangan hutan, kita tidak hanya akan kehilangan fungsi penyerapan, tetapi juga karbon yang telah disimpan di dalam tanah dan tumbuhan dilepaskan ke atmosfer lagi, kemudian selanjutnya memperparah perubahan iklim.
Hutan lebih dirasakan fungsinya dalam mengatasi perubahan iklim dari pada sekedar menyerap gas rumah kaca yang ada di atmosfer. Hutan berperan menjaga tutupan awan, memantulkan sinar matahari kembali keluar dari atmosfer, mendorong transformasi dari air menjadi uap dan meningkatkan kelembaban di atmosfer, yang akan mendinginkan udara. Selain itu, melalui penyediaan fungsi-fungsi lingkungan yang berbeda dan memenuhi kebutuhan hidup, hutan juga membantu dalam melakukan strategi penyesuaian mata pencaharian manusia yang diakibatkan perubahan iklim. Lebih dari 1,6 milyar orang di seluruh dunia mata pencahariannya bergantung pada sumber daya hutan, yang akan menjadi sumber teramat penting bagi pemenuhan gizi dan pendapatan pada saat terjadi tekanan iklim dan kegagalan panen.
Penutup
Dampak perubahan iklim pada sistem alam dan manusia sebagian besar masih belum dapat dipastikan. Namun, kita tahu bahwa jika kehilangan hutan lebih cepat dibandingkan yang dapat kita pulihkan, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan akan menjadi pihak pertama yang akan terkena dampak. Hal ini diakibatkan ketergantungan mereka yang sangat tinggi pada hutan, baik untuk penyediaan makanan, tempat tinggal, obat-obatan dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya. Kehidupan masyarakat di sekitar hutan ini akan semakin sulit, jika berlangsung terus-menerus, dampak lanjutan dari kehilangan hutan adalah menurunnya akses pada air yang berkualitas dan makanan, terjadinya banjir atau kekeringan yang ekstrim, serta kemudian berlangsungnya perubahan iklim.
Kondisi di atas menempatkan masyarakat lokal menjadi mitra yang sangat penting dalam perlindungan dan pengelolaan hutan, serta cara mereka menggunakan atau mengelola hutan, karena hal tersebut akan berdampak secara signifikan pada perubahan iklim global. Jika masyarakat lokal tidak sepenuhnya terlibat, hutan menjadi lebih rentan terhadap berbagai perusakan, seperti perambahan dan penebangan liar. Meningkatnya kebutuhan penyediaan pangan dan bahan bakar, meningkatnya kemiskinan di pedesaan, dan penegakan hukum yang lemah merupakan tantangan tambahan yang berlangsung dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, jika masyarakat terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan hutan yang ada di sekitar mereka, berbagai penyebab kerusakan hutan dapat diatasi yang dapat membantu mengurangi emisi karbon dioksida ke atmosfer.
***
[1] http://regional.kompas.com/read/2016/08/30/15362721/setiap.tahun.hutan.indonesia.hilang.684.000.hektar
[2] RECOFTC Indonesia, 2012
[3] RECOFTC – The Center for People and Forests, 2012