Ada Apa dengan Perempuan, dan Literasi?

Ilustrasi wanita membaca buku. shutterstock.com

Perempuan bukan sosok yang asing di mata masyarakat. Dari masa ke masa perempuan mengalami perubahan peran hingga sudut pandang masyarakat terhadapnya. Perempuan pada zaman dahulu berada di posisi nomor 2 setelah laki-laki. Perempuan dianggap tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan selain urusan dapur, ranjang dan mengasuh anak. Kerap kali perempuan tidak memiliki hak untuk menyatakan pendapat ataupun mengambil keputusan dalam segala urusan terutama urusan rumah tangga. Hal ini yang memunculkan prespektif masyarakat terutama kaum laki-laki untuk menganggap bahwa wanita ialah sosok yang lemah sehingga mudah mengontrol wanita. hal ini yang sering mengakibatkan timbul pelecehan seksual, kekerasan fisik dan lain sebagainya.


Tuhan menciptakan setiap makhluknya dengan kekuatan dan kelemahannya sesuai dengan porsinya. Kekuatan perempuan tidak hanya tentang memoles wajah, menebar pesona melalui bentuk tubuh. Tapi, perempuan memiliki keunggulan maupun skill tersendiri walaupun tidak bisa disama persiskan dengan para laki-laki. Mengutip salah satu pernyataan dari Novia Ardiani yang menyatakan bahwa “Perempuan menunjukkan kekuatannya ketika berhubungan dengan kata”. Secara alamiah, perempuan mampu dan butuh mengeluarkan sekitar 20.000 kata dalam sehari. Nyaris tiga kali lipat lebih banyak dari rata-rata yang dikeluarkan oleh para laki-laki, yang hanya menyampaikan sekitar 7.000 kata dalam sehari.


Perempuan lebih banyak mengeluarkan kata-kata baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini akan menjadi kekuatan bagi perempuan jika mampu berbicara maupun menulis dengan pondasi atau materi yang tepat. Tidak sekadar omong kosong apalagi hoax. Perempuan menjadi lemah karena tidak mampu menjadi dirinya sendiri, disaat kebutuhannya mengeluarkan kata tidak terakomodasi. Tak mempunyai akses menyampaikan isi hati. Tak terliterasi dengan baik.


Ditinjau dari asal kata Bahasa Latin dan Inggris, makna literasi bukan sekadar kemampuan baca tulis belaka, melainkan lebih ke kemampuan membaca kata dan membaca dunia menggunakan segenap potensi diri dan skill yang dimiliki serta dipelajari di dalam hidup manusia.


Mampu membaca kata dan dunia artinya melek huruf/aksara sekaligus melek visual. Literasi menentukan seberapa besar kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual baik kata, adegan, video, dan gambar.

Dalam perspektif yang lebih kontekstual, National Institute of Literacy mendefinisikan literasi sebagai kemampuan membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan di dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Jadi, bukan melulu soal baca tulis saja lalu sudah, tapi juga tentang menggunakannya dalam level masing-masing di dalam kehidupan bermasyarakat.


Literasi digital jadi penting, dikaitkan dengan keterampilan teknis dalam mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi melalui media digital. Perempuan akan hebat dan kuat jika mampu berkata maupun menulis jika dibarengi dengan literasi yang baik, mampu membedakan hoax dan fakta serta terus berminat untuk membaca dan belajar. Sedangkan rendahnya literasi, terutama literasi digital, akan membuat perempuan cenderung jadi penyebar berita bohong. Ketidakmampuan membedakan mana berita bohong dan mana yang mencerdaskan akan membuat perempuan lebih rentan jadi penyebar hoaks. Sehingga perempuan membutuhkan pondasi literasi yang baik agar menjadi perempuan yang cerdas.

Ditulis oleh: Auliyah Niswatul F, GPAN Regional Lamongan

Comments are closed.