[Review Buku]: Terobsesi Bungkus Lupa Akan Isi, Bentuk Kritik terhadap Masyarakat Indonesia

Identitas Buku:

Judul: Terobsesi Bungkus Lupa Akan Isi

Penulis: Audrey Yu Jia Hui

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2019

Sumber: koleksi pribadi pengulas.

Buku ini merupakan memoar dari Audrey, perempuan Tionghoa yang seringkali merasa diabaikan keberadaannya.  Melalui tulisan ini, Audrey ingin menyampaikan rasa sakit hatinya. Tulisan ini juga merupakan wujud akumulasi kekecewaan penulis atas perlakuan-perlakuan yang didapatkannya ketika tinggal di Indonesia. Hingga pada akhirnya, penulis sampai pada kesimpulan bahwa orang-orang di Indonesia memiliki budaya mementingkan “bungkus” dibandingkan “isi”.

Jelas disini bahwa penulis ingin menyampaikan perasaan dan pengalamannya selama menjadi “bagian” yang mendapat efek dari permasalahan tersebut. Tulisan ini merupakan manifestasi dari rasa kecewa, marah, sedih, dan lainnya atas ketidakadilan dan perlakuan yang ia terima selama hidup di negeri ini. Permasalahan semakin rumit ketika penulis menyadari bahwa masyarakat negeri ini lebih cenderung untuk memandang sesuatu dari luar atau “bungkus” dibandingkan dengan “isi”. Bungkus yang dimaksud penulis dalam hal ini adalah karakteristik seseorang yang mudah diobservasi, seperti penampilan, gerak-gerik, dan gaya bicara. Sedangkan isi yang dimaksud adalah hal-hal mendasar yang tidak mudah diobservasi yaitu pemikiran, idealisme, motivasi hidup, latar belakang, dan cara berpikir seseorang.

Tidak peduli jika seseorang memiliki pemikiran yang bagus, kebanyakan orang akan tetap berprasangka dan praduga buruk jika hal itu tidak sesuai dengan hal yang biasanya. Atau lebih mudahnya, orang lebih sering cenderung berpikir buruk sesuatu yang di luar dari kebiasaan atau “out of the box” tanpa perlu memandang “isi” terlebih dahulu.

Buku ini diawali dengan penjelasan penulis terkait dengan permasalahan yang seringkali menjadi biang kerok kerusuhan yang terjadi di Indonesia. Keberagaman agama dan kepercayaan yang disebut oleh penulis sebagai “bingkai-bingkai” di negeri ini seringkali menjadi adu bentrok antar satu sama lain. Hal ini menyebabkan adanya rasa saling memengaruhi untuk meyakinkan bahwa salah satu “bingkai” tersebut merupakan yang terbaik dibanding “bingkai” lainnya. Padahal menurutnya, agama, kepercayaan, dan filsafat hidup pada dasarnya merupakan suatu pencarian dinamis. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang selalu didorong kehausan untuk mencari tahu makna dan jawaban melalui hati dan pikirannya.  Adu “bingkai” ini terjadi secara terus menerus dan menjadi biang kerok dari berbagai konflik, ketidakadilan, serta perpecahan di negeri ini. Keadaan seperti ini dirasakan oleh penulis secara langsung hingga memengaruhi perkembangan kerohaniannya.

Pengalaman hidup penulis di Indonesia bisa dikatakan sangat buruk. Penulis yang memiliki apa yang disebut “gifted” atau genius, saat kecil seringkali mengalami kesulitan dalam pendidikan. Sebagai seorang anak yang dihadiahi oleh Tuhan hal istimewa tersebut menyebabkan ia berpikir lebih dari umur seharusnya. Ia mulai mempertanyakan banyak hal yang mungkin tidak ditanyakan anak seusianya pada saat itu. Namun, seringkali ia dikucilkan dan dianggap pamer oleh lingkungannya. Bahkan, guru-guru pun seringkali membentaknya agar ia mau diam dan tidak bertanya hal-hal yang mungkin tidak bisa dijawab oleh guru tersebut. Salah satunya tentang apakah ada kebahagiaan yang kekal?

Rasa penasaran tersebut menyebabkan penulis menganggap bahwa buku-buku adalah teman terbaiknya. Melalui buku, ia dapat menemukan jawaban yang selama ini dicarinya. Jika di sekolah ia tak bisa menemukan jawaban karena guru bungkam, di rumah pun sama. Ayahnya bekerja, ibunya bukan seorang intelektual yang enak diajak berdiskusi. Penulis merasa sendirian, karena tidak ada yang dapat diajak bicara.

Pencarian penulis akhirnya berhenti ketika ia mengenal pancasila. Bagi penulis, pancasila merupakan jawaban atas pertanyaan yang berkelebat di pikirannya atas makna hidup. Sebagai anak kecil yang haus akan persaudaraan dan kedekatan sesama manusia, sila-sila pancasila baginya merupakan satu kesatuan yang harmonis. Namun sayang, lagi-lagi penulis harus berada dalam situasi yang membuat ia merasa disingkirkan. Fisiknya sebagai perempuan Tionghoa seringkali dijadikan bahan olok oleh teman-temannya ketika ia lantang menjawab bahwa ingin hidup untuk negara dan pancasila.

Dalam tulisan ini pula, penulis ingin menunjukkan betapa tidak ramahnya orang Indonesia terhadap hal-hal yang “out of the box”. Secara tersirat, penulis ingin menunjukkan pengalamannya bahwa di Indonesia “menjadi kritis” adalah hal yang tabu. Dengan mengambil sudut pandang penulis, buku ini juga mencoba untuk mengkritisi pendidikan di Indonesia yang hanya digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan bungkus seseorang namun melupakan esensi pendidikan itu sendiri.

Saya pikir, buku ini sangat layak untuk dibaca. Tidak dapat dipungkiri bahwa prasangka dan streotipe buruk masih sering dilayangkan pada orang Tiongoa di negeri ini. Melalui buku ini, pembaca bisa menelisik lebih dalam pemikiran orang-orang Tionghoa yang jarang sekali didengar. Buku yang berisi kisah penulis ini setidaknya dapat menggambarkan sebagian kecil sulitnya orang Tionghoa diterima di Indonesia. Mereka masih tersisih dan didiskriminasi oleh lingkungan sekitar. Saya pikir, kehadiran buku dapat menjadi jembatan untuk mengupayakan pembaca agar mau sedikit mengubah perspektifnya, yang mungkin sebelumnya masih berpikir buruk tentang sesuatu yang belum benar-benar dikenali.

Mungkin beberapa kalimat dari buku yang akan saya selipkan di akhir ulasan ini dapat memberi sedikit gambaran seberapa besar kecewanya penulis terhadap orang-orang di negeri ini.

“Saat semua anak lain berdoa untuk mendapatkan mainan atau liburan, aku berdoa setiap hari agar wajahku tidak tampak seperti orang Cina. Sekali lagi, hal ini tidak mampu kudiskusikan dengan siapa pun sebab semua orang mengatakan berbicara tentang SARA (Suku, Bangsa, Ras, dan Agama) itu tabu dan berbahaya.” –hlm. 48.

Diulas oleh Vidia Oktaviana, anggota GPAN Regional Mojokerto.

Comments are closed.