Pulau Onrust dalam Catatan Sejarah

Kasus pandemi di 2020 banyak menyita perhatian. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk mencegah semakin masifnya penyebaran. Karantina didengungkan. Pembatasan sosial secara besar-besaran dilakukan di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Pada bulan Februari-Maret tersiar dari berita tentang kembalinya para ABK ke Indonesia. Sebanyak ratusan ABK tersebut harus dikarantina terlebih dahulu. Karantina dilakukan di Pulau Sebaru, sebuah pulau di Kepulauan Seribu, untuk memastikan bahwa mereka tidak terpapar oleh Covid-19 setelah perjalanan sebelumnya. Namun, tahukah kalian jika pada beberapa abad lalu pernah terjadi hal yang hampir sama?

Tulisan ini akan menyinggung hal tersebut. Pembahasan ialah terkait sebuah pulau di Kepulauan Seribu yang pernah tercatat menjadi tempat karantina saat terjadinya wabah pada awal abad ke-20.

Bagi sebagian masyarakat Jakarta, nama “Onrust” tidak lagi asing. Namun, teruntuk orang-orang awam, pulau ini tidak terlalu populer jika dibandingkan dengan pulau-pulau lain yang seringkali dikunjungi untuk tujuan wisata.

Pulau yang berada di Kepulauan Seribu ini memiliki kisah yang sangat panjang. Bersamaan dengan gugusan pulau lain, pulau ini termasuk dalam warisan budaya dan sejarah yang dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melalui Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta. Gugusan pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Onrust, Pulau Kelor, Pulau Bidadari, dan Pulau Cipir yang menjadi kesatuan wilayah bernama “Taman Arkeologi Onrust”.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Pulau Onrust memiliki kisah yang sangat panjang. Jika kita mencoba untuk mencari tahu melalui laman youtube, video-video yang beredar seringkali mengatakan bahwa pulau ini begitu angker, seram, dan misterius. Pelabelan tersebut tentu tidak terjadi begitu saja. Tentu ada hal yang melatarbelakangi. Namun, tulisan ini tidak akan berbicara tentang hal-hal mistis tersebut. Tulisan ini hadir untuk menginformasikan tentang aktivitas-aktivitas apa saja yang terjadi pada masa lalu di Pulau Onrust. Mungkin saja, dari pengetahuan yang didapatkan tentang sejarah Pulau Onrust dapat memberimu sedikit penjelasan mengapa pelabelan pulau ini tersebut bisa terjadi.

Galangan Kapal Besar

Pada abad ke-17, tepatnya masa VOC, Pulau Onrust memainkan peran penting di Kepulauan Seribu. Saat itu, Batavia berfungsi sebagai pelabuhan dan rumah bagi sekitar seratus kapal armada perdagangan VOC antar-Asia. Penanganan kargo dan perbaikan kapal dilakukan di pulau-pulau yang ada di teluk Batavia, termasuk Pulau Onrust.

Pulau ini memiliki fungsi ganda yaitu sebagai transshipment dan perbaikan. Pulau-pulau sekitarnya juga digunakan untuk kepentingan orang Belanda. Hal ini terjadi di Pulau Kuiper (saat ini Cipir) yang berada tidak jauh dari Pulau Onrust yang difungsikan sebagai gudang untuk barang dagangan dan pekerjaan kecil lainnya. Pulau Purmerend (saat ini Bidadari) juga digunakan untuk menampung penderita kusta, sedangkan Pulau Kerkhof (saat ini Kelor) difungsikan untuk tempat pemakaman.

Saat kita mengunjungi Pulau Onrust, hal pertama yang terlihat adalah adanya replika kincir angin, khas negeri Belanda yang pernah di buat VOC di pulau ini. Monumen kincir angin dapat dijumpai ketika kita berjalan melewati papan kayu untuk masuk ke dalam pulau. Dahulu, pulau ini sangat sibuk. Pulau ini ramai dengan aktivitas sebagai tempat galangan kapal besar. Penduduk menyebutnya “pulau kapal”.

Sumber: koleksi pribadi penulis.

Sejak itu, Onrust telah berkembang menjadi pusat perdagangan, penyimpanan dan pengiriman barang, dan galangan kapal yang berkembang begitu pesat. Konon, hal tersebut yang kemudian menjadikan tempat ini dinamakan Onrust yang berarti tidak pernah beristirahat. Penjelajah Inggris James Cook, yang memperbaiki kapal Endeavour di sana pada tahun 1770 memuji galangan kapal ini sebagai “de beste in Azië” atau “yang terbaik di Asia”.

Selain orang-orang Belanda, pulau itu dihuni oleh budak. Budak-budak ini berasal dari Nusantara, terutama Ternate dan Jawa Barat. Disamping itu penghuni lainnya adalah penumpang gelap, desertir, dan tahanan. Kira-kira sekitar 1.200 orang yang menjadikan pulau itu sebagai tempat tinggal tetap dan ratusan pekerja lainnya yang bolak-balik setiap hari dari Batavia.

Selama abad ke-17, bangunan-bangunan banyak didirikan di Pulau Onrust. Bangunan-bangunan ini antara lain tempat penggergajian kayu, gudang, rumah, gereja, dan rumah sakit. Lambat laun pulau ini dikelilingi oleh dinding yang menghubungkan lima benteng. 

Tahun 1795 masa kejayaan Onrust sebagai galangan kapal berakhir. VOC menjadikan pulau itu sebagai tempat pertahanan dari pasukan Inggris namun berkali-kali pula Inggris berhasil menghancurkan bangunan-bangunan Belanda yang ada di pulau ini. Disamping itu, letusan Gunung Krakatau 1883 juga turut menhancurkan sisa-sisa bangunan yang ada.


Sumber: Haagshche Courant van Maandag, 27-02-1933.

Tempat Karantina Saat Wabah

Pulau Onrust pernah menjadi tempat karantina, dimana orang-orang yang pulang dari berhaji harus tinggal setelah kembali dari Mekkah. Mereka harus dikarantina sebelum diizinkan untuk masuk ke Batavia.

Sejak akhir abad ke-19, banyak jamaah haji yang meninggal karena wabah menular. Seringkali mereka meninggal saat di perjalanan ketika masih di kapal uap. Saat itu, wabah penyakit seperti pes, kolera, dan lainnya memang sedang marak terjadi. Wabah ini terjadi di berbagai belahan dunia, sehingga bagi pemerintah kolonial hal ini sangat membahayakan.

Sebelum diketahui faktor penyebaran wabah pes, orang-orang yang pulang berhaji dianggap sebagai salah satu penyebab masuknya penyakit ini ke Hindia-Belanda. Hal ini yang menyebabkan dikeluarkannya Quarantine Ordonantie, pada 1911. Salah satu tempat yang digunakan untuk karantina yaitu Pulau Onrust, Pulau Rubiah, dan Sabang.

“Kalau kalian berkeliling pulau ini, lalu menemukan tulang-tulang, tolong jangan dipegang. Bisa jadi itu pasien yang meninggal karena lepra, pes, atau lainnya, jadi jangan ada yang berani menyentuh.” Ujar Chandrian Attahiyyat berulang kali, seorang arkeolog sekaligus Tim Ahli Cagar Budaya Kota Tua Jakarta ketika memberi arahan saat diadakan kegiatan Wisata Sejarah Kebaharian Taman Arkeologi Onrust.

Sumber: koleksi pribadi penulis.

Saat ini sisa-sisa bangunan rumah sakit tempat karantina masih ditemukan, namun hanya berupa puing-puing. Ada sisa bangunan yang kemudian dijadikan museum di dalamnya.

Berdasarkan surat kabar Nieuwe Courant, pada tahun 1949 terjadi epidemi cacar di Batavia. Hampir 2.000 orang terjangkit penyakit ini. Beberapa diantaranya dilarikan ke rumah sakit dan sebagian lainnya di rawat di tempat karantina. Salah satunya di Pulau Onrust. Saat itu, tercatat 1.425 orang yang dikarantina disana.

Sumber: Nieuwe Courant, 25-03-1949.

Pada awalnya, banyak orang-orang yang meninggal akibat kasus epidemi cacar yang tidak diketahui oleh Dinas Kesehatan Kota atau organisasi lain terkait. Hingga lambat laun, pasien cacar terdeteksi setiap hari hingga mencapai angka ribuan.

Bayi-bayi hingga orang tua saat itu harus divaksinasasi. Orang-orang yang divaksinisasi memiliki potensi tidak mengalami penularan cacar lebih lama. Pada masa epidemi ini, vaksinisasi harus dilakukan berulang selama tiga bulan.

Selain dibangunnya rumah sakit untuk keperluan karantina haji, pulau ini juga pernah dibangun sebagai penjara. Pada awal Perang Dunia II, warga Jerman, anggota NSB, dan masyarakat sipil yang dianggap berbahaya dipenjara di gedung yang sama di Pulau Onrust.

Pada tahun 1960-an, tidak ada lagi aktivitas lagi di Pulau Onrust. Sejak itu, penggalian sering dilakukan oleh arkeolog-arkeolog termasuk Chandrian Attahiyyat.

Bangunan Makam

Kehidupan di pulau itu pada masa lalu sama sekali tidak sehat. Sekitar seratus orang meninggal setiap bulan. Jika mereka yang meninggal merupakan orang elit, maka akan dimakamkan di Pulau Onrust dan jika sebaliknya maka akan dimakamkan di Pulau Kerkhof.

Hingga kini, bangunan makam masih bisa kita temukan di Pulau Onrust. Di bawah beberapa pohon tua dan besar terdapat kuburan-kuburan kecil, sekitar empat puluh batu.  Hanya beberapa yang masih dapat dilihat, seperti Johanna Kalff yang berusia 25 tahun, istri tukang kayu Van der Velde pada tahun 1720, dan Cornelis Willem Vogel, keturunan Baas Onrust, lahir dari Edam den 1 November 1695, 43 tahun, 1 bulan, dan 10 hari.

Menurut Chandrian Attahiyat, keluarga De Baas memiliki kekuatan tak terbatas. Mereka dapat memperkaya dirinya sendiri melalui korupsi dan bekerja secara ilegal untuk dirinya sendiri selain bekerja untuk VOC.

Sedikit lebih jauh kita melihat kuburan seorang anak bernama Anna Adriana Duran, putri Tuan Bastiaan Duran, bos pulau ini. Anna lahir pada 19 Desember 1763, meninggal September 1772, berusia 8 tahun, 9 bulan.

Selain itu, ada satu makam yang seringkali menyita perhatian. Makam ini memiliki prasasti berbahasa Belanda lama yang ada di atas batu besar dan masih bisa untuk dibaca. Tulisan tersebut berbunyi demikian:

“Maria van de Veldes lijk int graf geset
die waardigh was om
veel lange Jaren
te leven hadde God haar
t leven willen sparen
dogh t blijk Jehova
dat door den dood belet
Maria die is weg maria is niet meer
maar neen k herroep dat woort
als onbedaght gesproken
en t sijn van mijn aanstont
op hedetdaat gevrooken
Maria left nu eerst
nu sij left bij haar heer
gebooren tot Amsterdam
29 Desember 1693
Gestorven den 19 November
Anno op Onrust 1721”

Menurut penjaga pulau, Maria diyakini meninggal karena penyakit. Saat itu, banyak orang-orang Belanda yang meninggal karena tidak bisa menyesuaikan dengan kondisi dan cuaca wilayah tropis.  Namun di sisi lain, sosok Maria ini juga yang kerap kali diperbincangkan masyarakat dan dikaitkan dengan mitos angkernya Pulau ini. Masih banyak orang-orang yang beranggapan bahwa Maria meninggal karena bunuh diri menunggu kekasihnya yang tidak kembali.

(Ditulis oleh Vidia Oktaviana, anggota GPAN Mojokerto)

Sumber:

Haagshche Courant van Maandag, 27-02-1933.

Nieuwe Courant, 25-03-1949.

De Volksrant, 02-02-1995.

Ahmad Fauzan Baihaqi, Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda, Th. 1911-1930, Buletin Al-Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, Vol. XXII No. 1 Januari 2016, UIN Jakarta.

Comments are closed.