Kemajuan dari masa ke masa menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik, hal ini menunjukkan bahwa manusia diberikan kemampuan untuk bertahan dan memikirkan solusi untuk setiap masalah yang dihadapi. Kemajuan dalam hal kecerdasan dan kebudayaan merupakan makna peradaban yang dapat ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di sisi lain, peradaban mengandung makna kemajuan di masyarakat, di mana hal ini didasarkan pada kaidah manusia sebagai makhkuk sosial.
Manusia yang pada awal mula penciptaannya hanya dibekali dengan akal pikiran selalu mencoba hal baru untuk mempermudah pencapaian hajat hidup mereka. Manusia bertahan dengan memburu hewan lain atau mengolah tanaman sebagai makanan untuk bertahan hidup, kemudian mulai bertani atau bercocok tanam, dan kemudian memikirkan zona kekuasaan, serta memulai menata kehidupan adalah bentuk nyata dari sebuah peradaban. Dengan kata lain, peradaban berkaitan erat dengan budaya yang membentuk tatanan kemasyarakatan (civilization).
Kejadian-kejadian besar yang terjadi merupakan pijakan bagi sebuah bangsa untuk bertumbuh ke arah yang lebih baik, dan tidak terjebak dengan kekelaman kejadian serupa. Patut disyukuri bahwa masih banyak manusia yang memiliki kepedulian untuk menuliskan apa yang dialami dan membagikan pengetahuannya kepada pembaca, bahkan jika ditelaah lebih jauh, para pejuang kemerdekaan Indonesia merupakan orang-orang yang sangat kental dengan budaya membaca dan menulis. Sebut saja Moh. Hatta yang rela diasingkan atau dipenjara bersama buku-buku kesayangannya, Ki Hadjar Dewantara yang berfokus dalam bidang pendidikan dengan segala daya upayanya memperjuangkan pemerataan atau aksesbilitas pendidikan bagi seluruh elemen masyarakat. Ada juga kisah dari Sam Ratulangi yang sejak awal berjuang untuk dapat bersekolah dan mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk mendalami ilmu pengetahuan, serta memiliki misi untuk berbakti pada tanah kelahiran, dan pada akhirnya terlibat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.
Sederhananya, jika tidak ada yang menuliskan sejarah perkembangan kemajuan bangsa ini, lantas dari mana generasi penerus tahu perjuangan yang telah dilakukan, usaha melawan penjajah, melakukan kajian kebijakan kemasyarakatan, dan semua upaya yang saat ini bisa dinikmati kemanfaatannya. Tidak cukup sampai di situ, jika tulisan itu tak terjaga, apakah tulisan tersebut bisa dipertanggungjawabkan keasliannya. Namun, dokumentasi tentang peradaban kembali dihadapkan dengan tantangan baru yang dikenal dengan teknologi.
Kemajuan teknologi informasi memudahkan manusia untuk bertukar pikiran dan gagasan, utamanya di dunia maya, di mana semua orang memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, bahkan saat ini teknologi dapat menghubungkan manusia dari berbagai penjuru dunia. Fenomena hoax beberapa tahun ini cukup mendesak untuk dijadikan dasar bahwa wawasan perlu diperdalam, dan tentunya dengan sumber yang jelas. Ketika informasi diterima begitu saja, maka akan banyak pengetahuan yang pada akhirnya membentuk sudut pandang sesuai dengan kepentingan dari pihak tertentu, jika bersifat positif, pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan untuk karya selanjutnya, namun jika tujuannya adalah negatif, maka kita akan kembali pada jebakan bernama “devide at impera” atau politik pecah belah. Dampak ini tentu tidak diharapkan mengingat bangsa ini pernah mengalami kekejaman dari para penjajah yang dengan mudahnya menguasai daerah-daerah di penjuru nusantara. Oleh karena itu, penguatan kemampuan berliterasi perlu ditingkatkan dengan cara mempertahankan perpustakaan sebagai wadah sumber rujukan.
Keberadaan perpustakaan menjadi fokus penting bagi masyarakat untuk menjaga “pengalaman” yang telah dituangkan oleh para penulis terdahulu berkaitan dengan pengetahuan, kajian ilmiah atau cerita historis yang dapat dimanfaatkan untuk belajar mempertahankan yang sudah baik serta merubah yang kurang baik, dan disesuaikan dengan zamannya. Perpustakaan sebagai wadah literatur memiliki fungsi penting untuk memajukan peradaban. Hal ini berkenaan dengan banyaknya sumber informasi yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun, untuk itu diperlukan terobosan melalui perpustakaan digital.
Kemajuan teknologi dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kemudahan akses informasi yang didasarkan pada kemampuan berliterasi, tidak hanya membaca atau menulis, namun juga mengenai proses pemecahan masalah. Era digitalisasi memang harus diimbangi dengan penguatan sumber literasi yang memberikan pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat. Namun, dengan sumber daya manusia yang sangat heterogen menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Luasnya jangkauan kepulauan serta ragam suku dan budaya mengharuskan upaya ekstra, karena tidak semua elemen masyarakat bisa beradaptasi dengan media digital.
Adanya perubahan pola hidup yang dipengaruhi oleh kemudahan dalam berbagai bidang, utamanya pada aksesbilitas informasi yang sangat mudah didapatkan. Era globalisasi atau juga dikenal dengan era revolusi industri merupakan masa di mana terdapat beberapa kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu kemampuan yang mutlak harus dimiliki adalah kemampuan untuk berpikir kritis (critical thinking). Kemampuan ini menjadi prasyarat untuk memanfaatkan koleksi bacaan atau peninggalan yang telah susah payah dipertahankan, atau mulai dari kegiatan kecil seperti membaca berita, membaca buku cerita, kajian ilmiah, maupun teks sejarah. Kecanggihan teknologi yang disuguhkan memberikan kenyamanan dalam hal akses, namun menuntut kehati-hatian dalam pemahaman dan pemilihan rujukan.
Selain itu, kemampuan komunikasi juga diperlukan untuk menunjang penyampaian ide atau gagasan untuk disebarluaskan pada masyarakat umum. Kemampuan ini berhubungan erat dengan sumber bacaan dan kemampuan literasi yang dimiliki oleh seseorang, mengingat komunikasi tidak hanya menyampaikan, tetapi juga menerima informasi untuk selanjutnya diproses sebagai sebuah pemahaman. Kreativitas dalam penyampaian ide atau bahkan tahap implementasi gagasan juga merupakan kemampuan penting untuk mewujudkan karya dari hasil (output) literasi. Literasi dalam hal ini lebih menekankan pada kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Kolaborasi dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan peradaban, dimana masing-masing individu memiliki tingkat kecerdasan yang beragam. Kolaborasi dapat terbentuk dari rasa empati atau saling peduli satu sama lain. Adanya relawan literasi yang saat ini telah melakukan upaya sosialisasi, bahkan pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bentuk kepedulian dari manusia yang terdidik dan tergerak untuk membantu sesamanya. Relawan tersebut berjuang sesuai dengan kemampuannya, mengajak orang-orang yang memiliki visi yang sama, serta melihat fenomena ketimpangan di masyarakat.
Kemampuan-kemampuan yang telah disebutkan di atas diharapkan mampu membentuk kebudayaan yang dibangun dari pembiasaan sederhana dan dukungan masyarakat untuk bersama-sama menyaring informasi, serta memperdalam ilmu pengetahuan sebagai bekal bermasyarakat secara global. Perpustakaan bisa jadi hanya akan menjadi sebuah bangunan jika tidak diimbangi dengan inovasi yang mengedepankan kreativitas untuk dapat memperluas jangkuan dan mengajak masyarakat secara umum untuk meningkatkan minat baca, serta menerapkan hasil bacaannya. Selain itu, sumbangsih dari pemikiran-pemikiran yang terbentuk dari dalam pengetahuan perlu dituliskan untuk keberlanjutan peradaban. Pada akhirnya, perpustakaan bukan hanya simbol peradaban dan pusat budaya bangsa, tetapi merupakan bentuk kepedulian bahwa manusia masih ingin memberikan yang terbaik untuk generasi selanjutnya.
Tentang Penulis:
M. Saunan Al Faruq adalah nama pemberian sejak dilahirkan di Lamongan beberapa tahun silam. Pernah pengenyam pendidikan di Universitas Negeri Surabaya dan Malang, saat ini berkecimpung di lembaga pelatihan pengembangan manusia, serta aktif di beberapa kegiatan relawan sosial-pendidikan.