Kelas online pertama.jpg

Pendidikan Keluarga: “Corona Menjadikan Rumah Sebagai Sekolah”

posted in: Event | 0

Sebuah Pengantar

Sebuah Pengantar Salah Kaprah Ambil Peran dalam Pendidikan Pendidikan dewasa ini masih dimaknai sebagai ruang lingkup jenjang pendidikan formal. Seakan kalimat yang di gaungkan para dewasa bahwa pendidikan penting, tampaknya memiliki arti sempit bahwa perjuangan untuk memperoleh pendidikan terbatas pada sekolah setinggi tingginya.

Miskonsepsi ini bahkan diwariskan kepada para anak-anak sehingga mereka pun memahami bahwa pendidikan adalah saat mereka bersekolah. Sampai mereka akan benar-benar memahami bahwa pendidikan memiliki arti luas bahkan terjadi disetiap pergerakan hidup di mana pun dan kapanpun.

Salah kaprah terhadap makna pendidikan mempengaruhi paradigma umum tentang ambil peran dalam pendidikan itu sendiri. Seringkali guru sebagai pihak yang paling berhak dan paling wajib untuk ambil peran.

Sehingga hal ini membentuk citra diri guru sebagai pihak yang paling bertanggung jawab tentang kualitas pendidikan. Parahnya ini di yakini oleh anak-anak dan orang tua. Salah kaprah berjamaah ini menimbulkan masalah bagi stabilitas pendidikan yang komprehensif. Padahal bila kita mau memahami secara mendalam sebenarnya yang memiliki peran pertama dan paling utama dalam pendidikan adalah orang tua.

Salah kaprah ambil peran dalam pendidikan menjadikan banyak para orang tua tidak merasa bahwa merekalah pendidik pertama dan yang paling utama. Mereka menjadi kehilangan citra diri sebagai pendidik di mata anak-anak karena tergeser oleh citra guru yang menjadi figur otoritas sebagai cendekia utama dalam kebutuhan pendidikan anak-anak.

Maka tak heran bila kata-kata guru lebih berefek dari pada kata-kata orangtua. Banyak terjadi para orangtua memiliki permintaan-permintaan untuk disampaikan pada anaknya tapi harus melewati gurunya. Mengapa ini terjadi? Mari berbenah berjamaah.

Bila kita pahami kalimat ambil peran dalam pendidikan, maka orang tua memiliki peran luar biasa melebihi peran guru. Menjadi guru, meski bertahun-tahun lamanya, sejatinya dia hanya mendidik setahun saja karena ganti jenjang ganti murid.

Tetapi beda dengan orang tua, apapun jenjang pendidikan anaknya mereka tetap menjadi gurunya. Orang tua memiliki peran yang tidak disadari memberikan kontribusi luar biasa besar dalam pembentukan karakter. Andai saja para orang tua menyadari peranya maka tidak ada lagi guru yang terbebani oleh ekspektasi yang terkadang berlebihan dari orang tua.

Dan tidak ada anak yang terbebani oleh para guru yang juga terbebani. Tidak ada lagi orang tua yang kehilangan kepercayaan dari anak-anaknya. Tidak ada lagi anak yang lebih patuh sama gurunya dari pada sama orangtuanya

Corona Menjadikan Rumah Sebagai Sekolah Corona atau Covid-19

Corona Menjadikan Rumah Sebagai Sekolah Corona atau Covid-19, yang merupakan wabah primadona ter hits yang mendunia tahun 2020 yang belum di temukan obatnya menjadi penyebab pandemi yang mengakibatkan perubahan besar disemua sektor kehidupan dunia. Tak luput dalam dunia pendidikan sekalipun.

Adanya lockdown di berbagai daerah terkait upaya pencegahan penyebaran virus dengan cara menerapkan social distancing menjadikan sekolah mengalihkan sistem pembelajaran offline menjadi cyber class .

Para guru mencari cara bagaimana pembelajaran jarak jauh bisa maksimal dan murid tetap belajar. maka tentu rumah menjadi Sekolah. Bagaimanakah peran guru? guru hanya pemandu. Lalu saat d irumah, siapa gurunya? Tentu siapa lagi kalau bukan orang tua.

Ingin sekali mengucapkan selamat pada para orangtua karena label “guru” dikembalikan meski karena situasi corona. Tapi tampaknya peran ini bukan menjadi kesempatan atau peluang melainkan menjadi sumber kegabutan baru bagi para orang tua.

Tak heran sebuah peran baru meski sebanarnya peran lama yang baru di sadari, belum lagi adaptasi para orang tua yang harus bekerja dari rumah menjadikan ekspektasi-ekspektasi bekerja sambil membersamai anak-anak belajar akan berjalan lancar malah sebaliknya menjadi kata “ambyar”.

Pertanyannya kenapa? Banyak sekali jawaban bila harus di uraikan. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan mengapa, tapi bagaimana cari cara menjadikan rumah menjadi sekolah. Jika guru telah berhasil menjadikan Sekolah serasa dirumah maka saatnya orangtua ambil peran dan mencari cara bagaimana menjadikan rumah menjadi sekolah ternyaman.

Berikut adalah upaya cari cara dalam mewujudkan rumah sebagai sekolah:

1.Perbaiki hubungan

Ilustrasi memperbaiki hubungan dengan anak (Sumber foto:www.imaos.id)

“Hubungan saya dengan anak saya baik-baik saja” ini adalah kalimat yang banyak dilontarkan para orang tua.

Mereka merasa tak ada masalah dengan hubungan dalam keluarga. Para orang tua berpedoman pada indikator: “anak saya patuh, nurut kok, disiplin, dan patuh meski harus saya bentak dulu, awalnya mungkin ngambek tapi nanti juga sudah biasa lagi, artinya itu sudah selesai”.

Hubungan yang memanusiakan hubungan tidak sesederhana itu. Bila anak kita robot mungkin bisa, tapi mereka manusia yang bisa menyimpan akumulasi luka akibat bentakan, hukuman, kemarahan, perintah yang tak di sepakati, interogasi yang tidak nyaman, nasehat yang dipaksakan dalam situasi yang salah, dan penolakan perasaan dan semua hal yang disebutkan menurunkan kualitas hubungan, kepercayaan dan kehadiran orang tua di hati anak.

Hal-hal yang dapat memperbaiki kualitas hubungan:

a. Kecakapan orang tua dalam manajemen emosi
b. Kecakapan orang tua dalam berkomunikasi
c. Kualitas waktu dan kuantitas kebersamaan dalam keluarga

Untuk menjadi guru yang dipatuhi dirumah maka orang tua harus berada di hati anak. Namun tampaknya ini akan jadi upaya cukup keras mengingat orangtua tidak tahu bagaimana citra diri orang tua dalam benak anaka-naknya selama ini.

Maka penting sekali memperbaiki hubungan antara orang tua dan anak.

2. Tetapkan ekspektasi yang realistis

Ilustasi keluarga sumber (foto: Istimewa)

Ekspektasi yang realistis menjadi salah satu sarat utama menjadi guru di rumah. Orang tua perlu tahu tahap perkembangan anaknya. Penting bagi orangtua untuk tahu usia anak, sehingga bisa berespon tepat dalam membersamai belajar saat di rumah.

Misalkan, usia PAUD maka cari tahu apa yang wajar dan tidak pada usianya, jangan menerapkan ekspektasi berlebihan pada usia yang memang belum waktunya.

Misal memaksakan membaca pada usia PAUD. Memaksa menghafal pada anak yang kecerdasan bahasanya kurang baik. Memaksakan menghitung pada anak yang memiliki kecerdasan numerik yang standart.

Memaksakan anak mengerjakan semua tugas tanpa ada break time, memaksa anak berfikir padahal mereka masih kesulitan, memaksakan anak belajar ekstra pada saat anak belum terpenuhi kebutuhan dasarnya (saat lapar, capek, ngantuk).

Ingat tetapkan ekspektasi yang realistis. Anak-anak bukan dewasa mini yang dipaksa memenuhi standar pemikiran para dewasa.

Selain yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya penting bagi orang tua memahami gaya belajar anaknya, dan kecerdasan dominan karena setiap anak unik.

Anak akan belajar sesuai gaya mereka belajar. Ini bukan dalam rangka sok tahu sehingga melabeli anak dengan label-label anak audio, visual, kinestetis bahkan audio visual, melainkan dalam rangka untuk memproses hasil belajar yang efektif.

Para orangtua harus selalu Cari cara bagaimana anak belajar. layaknya memasukkan air kedalam berbagai wadah memiliki cara-cara husus agar air mampu masuk ke tiap karakteristik wadah.

Bila orangtua tak mau memahami akan hal ini, maka emosi adalah yang akan terjadi. Namun bila belum memahami, maka mencari informasi serta melakukan dialogis dengan guru di sekolah menjadi kebutuhan.

Menetapkan ekspektasi yang realistis sesuai gaya belajar akan memberi dampak kesehatan mental bagi semua anggota keluarga.

Semisal jangan memaksa anak kinestetik dominan hanya membaca dan menulis mereka butuh kegiatan yang lebih menantang melalui gerak. Maka orang tua harus senantiasa Cari cara.

3. Jadi Guru yang genuine di rumah

Ilustrasi keluarga (Sumber foto: siedoo)

Guru yang genuine , terasa sangat konyol bila dibaca berulang. Tapi ini penting untuk ber-genuine.

Hanya karena mendapat peran lama rasa baru “menjadi guru” maka orang tua akan bertindak seolah-olah mereka menjadi guru formal dan harus mengimitasi gaya guru di sekolah membuatnya terlihat kaku dan memaksakan anak belajar layaknya di sekolah.

Koordinasikan dan sesuaikan kegiatan belajar dengan guru di sekolah. Ada beberapa sekolah yang tetap daring sebagaimana waktu saat disekolah.

Guru stand by membersamai selalu anak-anak. Tapi lain halnya dengan sekolah yang hanya memberikan penugasan saja. Maka orang tua adalah tentor utama yang mengkoordinir jalanya pembelajaran anak.

Bila orangtua mengimitasi gaya guru disekolah maka hati-hati meme yang beredar bahwa “guru disekolah lebih di rindukan karena guru dirumah galak” akan nyata adanya. Tetaplah jadi orangtua dengan penuh cinta membersamai anak belajar.

4. Buat kesepakatan rutinitas baru

Ilustrasi hubungan ibu dan anak (Sumber foto: parenting.orami

Perubahan adalah sesuatau yang sulit di awal tapi dengan komitmen maka akan menjadi pembiasaan yang sangat ringan dijalankan.

Sama halnya dengan menjalani multi peran ditengah Covid-19 yang melanda. Orang tua akan mengurus rumah, menjadi guru dan bekerja dari rumah. Maka, pastikan orang tua menyusun strategi agar tidak ambyar.

Oleh sebab itu membat rutinitas harian menjadi langkah terwujud kehidupan dirumah yang tentram dan penuh kedamaian.

Berikut adalah panduan membuat jadwal rutinitas:

a. Miliki hubungan baik dengan anggota terlebih dahulu, karena hubungan yang baik akan menumbuhkan kepercayaan dari hati.

b. Buatlah bersama-sama, semua anggota keluarga ikut serta.

c. Jangan paksakan semua poin dari orang tua. Ini Zamannya merdeka belajar. ijinkan anak merdeka membuat pertimbangan dan memutuskan.

d. Tulislah dalam kertas dan diwarna

e. Kegiatan jangan terlalu kompleks dan ribet sesuaikan dengan usia anak

f. Bila ada agenda belajar, maka tetap sesuakan dengan usia. Karena tiap usia punya retang fokus yang berbeda. Missal: 30 menit belajar 15 menit breaktime.

Isi breaktime dengan kegiatan yang rekreasional sesuai dengan kebutuhan anak.

g. Taruhlah di tempat yang bisa dilihat semua warga rumah untuk saling mengingatkan.

5. Ajak anak merencanakan kegiatan utama tiap hari

Iustrasi kegiatan mendongen (Sumber foto: appletreebsd)

Ajak anak merencanakan kegiatan utama tiap hari. Ini berbeda dengan jadwal rutinitas. Bila rutinitas berisi banyak kegiatan harian tentang kecakapan hidup. Maka merencanakan kegiatan utama berarti mengajak anak untuk membuat outline kegiatan.

Misalkan saat malam hari orang tua bertanya: “nak besok mau ngapain aja stelah belajar, setelah itu, setelah itu, setelah itu?” dan silahkan di catat.

Dalam hal ini orang tua boleh mengusulkan beragam kegiatan tapi ini sifatnya usulan. Biarakan anak merdeka memutuskan atas hidupnya.

Orang tua mengarahkan dan mendukung. Ini untuk menghindarkan anak yg off task behaviour mati gaya mau ngapain.

Kemudian rencana kegiatan utama bisa di masukkan di jadwal rutinitas. Orangt ua bisa mencari inspirasi beragam kegiatan di internet atau dari inspirasi rekan-rekan.

Penulis: Ilmi Elmoza (Praktisi pendidikan dan Founder Komunitas Selasar Keluarga Belajar)

Comments are closed.