Dewasa ini pendidikan merupakan aspek yang sangat dipertimbangkan oleh suatu negara. Semakin baik kualitas pendidikannya, maka berarti kualitas negara tersebut semakin baik juga. Di Indonesia sendiri ada undang-undang yang mengatur tentang pendidikan, yakni “Setiap warga negara berhak medapatkan pendidikan.” (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1)). Hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak pandang bulu. Setiap warga negara berhak untuk mengenyam pendidikan. Tidak peduli miskin, kaya, anak berkebutuhan khusus, dan sebagainya. Namun dalam kenyataannya, masih banyak anak berkebutuhan khusus yang tidak pernah mengenyam dunia pendidikan sama sekali.
Difabel atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang memiliki kondisi fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosial yang berbeda dengan anak pada umumnya. Kondisi fisik yang berbeda ini berarti ada beberapa panca indera ataupun organ tubuh lainnya yang tidak berfungsi dengan semestinya. Sedangkan kondisi mental yang berbeda merupakan suatu kondisi dimana anak memiliki penyimpangan kemampuan beripikir secara kritis, logis dalam menanggapi lingkungan sekitarnya. Sementara karakteristik perilaku sosial yang berbeda jika anak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lain-lain (Abdullah, 2011).
Di Indonesia jumlah ABK tiap tahunnya semakin meningkat. Sebagaimana ditunjukkan dalam data BPS pada tahun 2005 dalam (Tarnoto, 2016) bahwa ada kurang lebih 4,2 juta ABK dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 8,3 juta. Jumlah yang besar ini berbanding terbalik dengan fasilitas pendidikan untuk ABK (Sekolah Luar Biasa (SLB)) yang ada. Belum lagi anak-anak yang tempat tinggalnya jauh dari SLB, terlebih dari keluarga ekonomi yang rendah memiliki kemungkinan besar tidak akan mengenyam dunia pendidikan sama sekali. Padahal dalam undang-undang sudah ada pasal yang mengatur tentang hal ini, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengeyam pendidikan, dan warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, intelektual, mental dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus” (UU No 20 tahun 2003, Pasal 5).
Pemerintah Indonesia dalam hal ini telah melakukan penanggulangan dengan cara melaksanakan pendidikan inklusif guna memfasilitasi dan memberikan hak kepada ABK. Pada tahun 2001 pemerintah mulai melakukan uji coba perintisan sekolah inklusif di Yogyakarta dan Jakarta. Kemudian pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia melalui deklarasi di Bandung mengumumkan secara resmi program “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif”. Selain itu di Aceh juga mendukung hal ini melalui dikeluarkannya Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 Pasal 33 Ayat 4 tentang Penyelenggara Pendidikan yang berbunyi, “Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap peserta didik untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan dengan menyediakan layanan yang memadai untuk pendidikan biasa dan pendidikan inklusi”.
Meskipun sudah diatur dalam undang-undang, implementasi pendidikan inklusi ini masih banyak mengalami kendala. Terlebih lagi mengenai aspek pemahaman, pembiayaan pendidikan, kebijakan internal sekolah, kurikulum, serta tenaga kependidikan dan pembelajarannya. Bahkan ada suatu kasus di Aceh bahwa sekolah yang sudah ditunjuk menjadi sekolah inklusi tidak menerima anak berkebutuhan khusus dikarenakan kurangnya tenaga pendidik yang profesional dalam bidangnya. Jika hal ini terjadi tidak hanya di satu sekolah saja, maka bagaimana nasib anak-anak tersebut yang pada dasarnya mebutuhkan pendidikan.
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang terbuka untuk semua tanpa pengecualian, termasuk anak ABK. Tujuan dari pendidikan inklusi adalah meratakan hak pendidikan untuk semua anak tanpa adanya diskriminitas sehingga mereka dapat memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Selain itu, menurut Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi dalam (Elisa & Wrastari, 2013) pendidikan inklusi juga membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar serta membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah pada seluruh warga negara.
Pendidikan inklusi merupakan suatu upaya untuk memperjuangkan hak semua anak dari berbagai golongan. Dibentuknya pendidikan inklusi dengan tujuan agar kualitas pendidikan semakin meningkat dan merata. Untuk mendapatkan tujuan ini maka hal pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas seorang guru. Seorang guru harus dilatih dengan maksimal agar dapat menghasilkan generasi yang berkualitas.
Pendidikan inklusi memang dibutuhkan suatu keseriusan dalam menjalankan programnya. Perlu diadakan pelatihan khusus untuk beberapa guru sebelum mereka mengajar di sekolah yang menerapkannya. Karena ABK memang berbeda dari anak pada umumnya, jadi mereka perlu perhatian, penjelasan, dan perlindungan yang lebih intens. Kemudian pemerintah juga harus ikut andil dalam pembiayaan pendidikan. Masih banyak sekolah inklusi yang belum mendapatkan sarana dan prasarana yang memadai karena kurangnya anggaran dana.
Perlu diingat kembali, jika memang benar-benar ingin meningkatkan kualitas pendidikan, Indonesia harusnya membuat kurikulum yang dapat dijalani oleh semua golongan anak. Karena banyak yang merasa bahwa kurikulum saat ini terlalu memberatkan.
Selain itu peran pemuda juga sangat membantu dalam hal ini. Mereka dapat membuat program kunjungan ke sekolah inklusi. Misalnya saja dengan membuat komunitas khusus yang agendanya adalah berkunjung ke sekolah inklusi. Tidak hanya berkunjung, mereka juga dapat membuat acara yang mendidik namun tetap mengasyikkan. Jika guru harus mendapatkan pelatihan khusus, maka mereka juga harus mengikuti pelatihan khusus juga sebeleum berkunjung. Hal ini tentunya sangat bermanfaat. Mereka bisa mendapatkan ilmu dan bisa praktek secara langsung. Teknisnya, suatu komunitas membuka pendaftaran, yang kemudian diadakan seleksi agar menghasilkan anggot-anggota yang benar-benar tertarik untuk masalah ini. Kemudian jika sudah medapatkan hasil seleksi, mereka dapat mengadakan program pelatihan rutin terlebih dahulu. Jika sudah mencapai tahap ini, maka mereka baru bisa berkunjung ke sekolah inklusi.
Tidak hanya itu saja, perpustakaan juga dapat ikut andil dalam hal ini. Perpustakaan sekolah maupun umum seharusnya memiliki koleksi yang dapat digunakan untuk segala jenis pengguna. Mereka juga dapat mengadakan kegiatan kunjungan perpustakaan yang pesertanya adalah anak-anak dari sekolah inklusi. Agar dapat terlaksana, koleksi mereka juga harus disesuaikan. Misalnya saja mengadakan koleksi buku dengan huruf braille, di Perpustakaan dan Arsip Kota Malang sudah menerapkan hal ini. Namun perlu diingat lagi bahwa saat ini tugas perpustakaan adalah menjemput bola bukan menunggu bola. Hal ini menandakan bahwa mereka memang sudah seharusnya mengadakan agenda kunjungan perpustakaan untuk anak-anak dari sekolah inklusi maupun sekolah biasa. Upaya tersebut dilakukan untuk membantu proses pendidikan di kalangan anak-anak serta terciptanya suatu kualitas pendidikan yang lebih baik.
Penulis : Alimatul Listiyah, Editor : Zalfa Salsabila Rahmah
Sumber rujukan :
Abdullah, N. (2013). MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. 86, 10.
Egal, N. (n.d.). Pendidikan inklusif di indonesia.
Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 Pasal 33 Ayat 4 Tentang Penyelenggara Pendidikan
Tarnoto, N. (2016). PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG DIHADAPI SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSI PADA TINGKAT SD. HUMANITAS: Indonesian Psychological Journal, 13(1), 50–61.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 Ayat 1
Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.