Oleh: Khuswatun Hasanah (Mahasiswa S2 Ilmu Politik UI)
“Bukankah tidak ada yang lebih suci bagi seorang pemuda daripada membela kepentingan bangsanya?”
Cuplikan kutipan yang dikemukakan Pramoedya Ananta Toer pada bukunya yang berjudul “Di Tepi Kali Bekasi” tersebut agaknya menohok kerongkongan para pemuda begitu saja hingga sulit melantangkan suara dan akhirnya menjadi perenungan. Pendidikan dan pemuda, keduanya adalah lumrah di telinga. Saat ini, kenyataan bercerita banyak menyoal banyaknya beasiswa yang mengantar pemuda untuk bersekolah setinggi mungkin bahkan hingga ke luar negeri. Hal demikian jelas merupakan katalisator tersendiri dalam menerima bonus demografi Indonesia pada tahun 2020 dan Indonesia Emas tahun 2045 mendatang. Pada fenomena bonus demografi 2020, Indonesia akan memiliki lebih banyak penduduk berusia produktif dan harus dimaksimalkan sebagai katalisator yang keberadaannya sangat diperhitungkan di negeri ini.
Istilah katalisator pertama kali dimunculkan oleh Otswald (1902) yang berarti suatu substansi yang mengubah laju suatu reaksi kimia tanpa mengubah besarnya energi yang menyertasi reaksi tersebut. Bila dianalogikan, pemuda Indonesia saat ini terlahir sebagai katalisator bagi negaranya. Pemuda menjadi penyebab dan pembawa perubahan serta mempercepat penggapaian tujuan negara, salah satunya dalam hal pendidikan. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tentang salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pemuda sebagai katalisator berkesempatan dan berkewajiban mengambil andil dalam terwujudnya tujuan negara tersebut.
Lalu, mengapa harus pemuda? Begini, tidak hanya saat ini, sejak zaman pra-kemerdekaan hingga reformasi, pemuda sejatinya terlahir dengan ide-ide segar, semangat membara dan kemauan yang bulat. Kenyataan diperkuat dengan bukti bahwa banyaknya gerakan pemuda yang terjadi pada zaman tersebut menorehkan sejarah penting terhadap pergerakan Indonesia. Alasan-alasan tersebut ditambah pula dengan kenyataan bahwa saat ini semakin banyak pemuda bersekolah tinggi, berilmu dan bertambah kecanggihannya. Tak ada yang kurang dari pemuda untuk menjadi katalisator pendidikan masa kini.
Mengapa butuh katalisator pendidikan? Bila melihat keadaan pendidikan Indonesia saat ini, angka putus sekolah masih menjadi momok menakutkan yang membutuhkan pengentasan hingga tuntas. Data putus sekolah siswa menengah yang dilansir Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui Education at a Glance 2015: OECD Publishing memaparkan hasil perhitungan yakni 64 persen dari masyarakat kelompok usia 25-34 tahun di China gagal menyelesaikan pendidikan menengah mereka. Sedangkan Indonesia memiliki memiliki angka tingkat putus sekolah jenjang SMA tertinggi kedua di dunia yakni 60 persen, diikuti negara Meksiko yakni 45 persen. (1)
Sebenarnya, tidak perlu melihat angka putus sekolah untuk mengatalisasikan pendidikan Indonesia. Pemuda sebagai katalisator pendidikan masa kini dituntut peka terhadap lingkungannya sendiri. Menjadi guru-guru di perbatasan negara hingga menjadi guru di sekolah Indonesia untuk anak-anak Warga Negara Indonesia (WNI) memang menjadi tantangan tersendiri dalam romantika pendidikan yang digalakkan oleh pemuda. Memiliki idealisme kuat sangat baik, merujuk pada kutipan Pram di awal tulisan, tak ada yang lebih suci bagi pemuda daripada membela kepentingan bangsanya. Sangat baik. Namun jangan sampai melupakan kampung halaman sendiri. Katalisator diperlukan di segala titik di negara ini, termasuk titik terdekat dari diri pemuda, kampungnya sendiri, tak boleh terluputkan.
Pemuda dengan ide-ide segarnya diharapkan oleh segenap masyarakat untuk menjadi katalisator pendidikan. Bukan tidak mungkin, di lingkungan sekitar banyak anak-anak yang bahkan membaca sajapun sulit. Seperti yang dilakukan oleh pemuda Karang Taruna Sub Unit RT 002/06 Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, merintis rumah baca dan belajar Bale Sinau. Kegiatannya juga diselingi dengan kunjungan ke tempat-tempat yang berpotensi mengedukasi di Jakarta.
Memang panggilan jiwa tak pernah berkhianat. Pemuda dengan beragam latar belakang dan kesibukan meluangkan waktunya setiap Hari Minggu untuk mendidik anak-anak sekolah dan belum sekolah di lingkungannya. Meskipun demikian, hingga detik ini, organisasi kepemudaan kampung ini masih membutuhkan banyak donatur buku dan perlengkapan belajar lain untuk menunjang kegiatan.
Ditelisik, masih sangat minim peran pemuda Karang Taruna dalam hal pendidikan, khususnya di wilayah Kelurahan Semanan, Jakarta Barat. Pemuda Karang Taruna pada Sub Unit ini berusaha mendobrak keterbatasan. Mereka adalah contoh bahwa menjadi katalisator dimulai dari kampung sendiri yang telah banyak memapar fakta sosialnya sebagai bekal berperang dengan luasnya dunia. Pemuda di kampung sudah semestinya menanggalkan sejenak kepentingan pribadinya, berganti jubah menjadi katalisator pendidikan sebagai tanda terima kasih kepada kampungnya juga kepada Indonesia karena telah makan dari tanahnya dan banyak belajar dari fakta sosialnya. Hal kecil, bermanfaat besar. Menumbuhkan semangat belajar dan membaca kepada anak-anak adalah langkah awal menciptakan katalisator-katalisator lain dalam segala aspek yang dicita- citakan demi kemajuan Indonesia. Atau jika tidak mampu menjadi katalisator, berhentilah menjadi inhibitor yang menghambat kemajuan negaranya.
(1) http://www.keepeek.com/Digital-Asset-Management/oecd/education/education-at-a-glance-2015_eag-2015-en#page1, diakses Kamis, 28 April 2016