MAYORITISME BERKEDOK TOLERANSI

posted in: Esai, GPAN Regional Jogja | 0

Indonesia, merupakan Negara besar dengan keberagaman di dalamnya yang tersebar luas dari ujung Timur hingga ujung Barat wilayahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, memiliki 34 provinsi, lebih dari 200 juta penduduk dengan 1331 suku bangsa, 652 bahasa dan 6 agama berbeda berkumpul menjadi satu kesatuan, bertanah air satu, tanah air Indonesia.
Dari 34 provinsi yang dimiliki Indonesia, terdapat satu provinsi yang memiliki keistimewaan dengan diberikannya kebebasan menggunakan hukum syari’at Islam bagi pemeluknya, yakni provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Undang – Undang RI No. 44 tahun 1999, keistimewaan ini diperoleh Aceh berkat kegigihan rakyat Aceh dalam melawan penjajahan dan tekad kuat menjaga keutuhan NKRI, dengan tetap menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan adat syari’at Islam.
Di Negara yang majemuk ini, tentu pemberlakuan hukum berdasarkan syari’at pada provinsi Aceh menimbulkan pro dan kontra. Terlebih penduduk di Aceh bukanlah kaum Muslim saja, terdapat kaum Nasrani yang akhirnya semakin terasa keberadaannya sebagai kaum minoritas. Di dalam Undang – Undang RI No.44 tahun 1999 pasal 4 ayat 2 disebutkan keharusan menjaga toleransi beragama dalam pelaksanaan hukum syari’at Islam bagi pemeluknya, namun hal ini tidak menyurutkan adanya konflik agama di provinsi tersebut.
Konflik Aceh Singkil, merupakan salah satu konflik agama di Aceh yang masih belum menemukan titik terang hingga saat ini. Pada 13 Oktober 2015 lalu, telah terjadi aksi pembakaran gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Peristiwa tersebut bermula dari adanya pendirian 21 bangunan gereja oleh warga Kristen Aceh Singkil, dimana kesemuanya tidak memiliki surat izin mendirikan bangunan. Masyarakat Muslim di Aceh Singkil merasa terusik dengan apa yang dilakukan oleh warga Kristen tersebut sehingga mereka melakukan aksi pembakaran gereja. Rupanya konflik Aceh Singkil telah ada sejak tahun 1979. Dimulai dari tanggal 11 Juli 1979 lampau di Lipat Kajang, sebuah perjanjian yang ditandatangani secara bersama-sama oleh 8 ulama perwakilan umat Islam dan 8 pengurus gereja/perwakilan umat Kristen.
Mereka sepakat untuk tidak melaksanakan ataupun membangun kembali (rehab) gereja sebelum mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II. Pada 13 Oktober 1979 dibuat ikrar bersama untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan menaati perjanjian yang telah dibuat 11 Juli 1979. Ikrar bersama ini ditandatangani 11 Pemuka Agama Islam dan 11 Pemuka Agama Kristen disaksikan dan ditandatangi oleh Muspida Kabupaten Aceh Selatan (saat itu belum menjadi Aceh Singkil), Kabupaten Dairi-Sumut, Kabupaten Tapteng-Sumut, juga disaksikan oleh unsur Muspika Kecamatan Simpang Kanan. Beberapa tahun kemudian, 11 Oktober 2001 kembali dibuat surat perjanjian, setelah sebelumnya, salah satu gereja di Kecamatan Suro dibakar. Pembakaran ini diduga karena melanggar aturan yang telah dibuat sebelumnya, pendirian gereja tanpa izin. Pembakaran gereja yang terjadi pada tahun 2015 pun dilakukan oleh warga Muslim Aceh Singkil dengan alasan yang serupa dengan tahun – tahun sebelumnya, yakni mereka merasa warga Kristen Aceh Singkil telah melanggar perjanjian 1979. Warga Kristen Aceh Singkil pun angkat bicara terkait hal tersebut. Mereka menyatakan bahwa mereka bukan tidak ingin mengurus perizinan bangunan rumah ibadah, namun mereka mengalami kesulitan dalam mengurus izinnya. Ada kesan dipersulit bahkan usaha mereka berakhir penolakan dari pemerintah setempat. Hingga hari ini, masyarakat Kristen Aceh Singkil masih terombang – ambing. Proses perizinan pembangunan gereja masih belum menampakkan hasil positif. Kini mereka tak memiliki rumah ibadah, hanyalah tenda – tenda di pertengahan kebun yang dapat mereka gunakan sebagai sarana kebaktian. Miris sekali mengetahui apa yang terjadi di Aceh Singkil ini. Aksi warga Muslim Aceh Singkil menampakkan jelas praktik mayoritisme di Indonesia. Kaum minoritas dituntut untuk bersikap toleran terhadap kaum mayoritas, seolah toleransi hanyalah hak bagi kaum mayoritas dan kewajiban bagi kaum minoritas. Padahal, bukan seperti itu cara kerja toleransi. Hendaknya kita saling memberikan ruang bagi masing – masing kaum beragama untuk menjalankan ibadahnya dengan tenang dan damai. Toleransi merupakan hak bagi semua kalangan dan kewajiban bagi setiap manusia. Bukankah hal itu telah termaktub pada sila pertama dasar negara kita?

Ditulis oleh : Nanda Vidyanissa Normansyah (Pemenang Quis Webinar #3 GPAN Jogja)

Comments are closed.