Oleh: Ikrima Maida
Pernah sekali teman saya bercerita pengalamannya ketika nongkrong di salah satu sekretariat organisasi ekstra-kampus yang berbeda dengan organisasinya. Waktu itu katanya, dia sedang menonton acara tarung bebas di salah satu channel televisi. Salah satu penghuni sekretariat itu berkata, “Kalau saja saya ikut acara itu, dan musuhnya dari organisasi X (anggaplah dia berasal dari organisasi Y), behh.. pasti saya amuk habis-habisan!!”. Dalam amarahnya jelas terlihat bahwa orang tadi begitu membenci orang lain yang berbeda organisasi atau ideologi dengannya.
Yang lebih disayangkan, kejadian tadi dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Mahluk yang seharusnya memberikan contoh toleran, ehh.. malah jadi contoh arogan. Ironis memang ketika melihat mereka mengolok-olok mereka yang lain yang berbeda ideologi atau organisasi. Apalagi dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Organisasi yang seyogyanya dijadikan media belajar, malah jadi media untuk mencari lawan ideologi yang kemudian akan dimusuhi.
Perbedaan Ideologi
Ideologi sejatinya adalah hasil dari kerja nalar. Dan masing-masing individu memiliki cara bernalar sendiri-sendiri. Pikiran kita akan meramu berbagai informasi atau pengalaman yang kita dapatkan yang entah dari mana, dan menyimpulkannya dengan informasi atau pengalaman yang sudah ada sebelumnya. Boleh kita membaca buku yang sama, atau mengalami pengalaman yang sama, tapi itu tidak menjamin bahwa kita akan memiliki kesimpulan yang sama. Tergantung bagaimana nalar kita mengolahnya. Dari premis ini, kita seharusnya memaklumi ideologi-ideologi yang berbeda dari ideologi kita.
Perbedaan interpretasi sah-sah saja terjadi. Tetapi penentangan secara membabi buta, tanpa tahu-menahu duduk persoalannya adalah pemikiran paling dangkal.
Fenomena saling tuding-menuding, kafir-mengkafirkan, saling mencemooh, adalah hasil dari penolakan yang berlebihan. Bibitnya adalah seperti kejadian yang dialami oleh teman saya tadi. Jika hanya berbeda organisasi atau ideologi saja sudah dicap sebagai lawan, apalagi yang beda agama, beda keyakinan, beda partai, beda ormas, dan beda-beda yang lainnya?.
Di daerah saya (Madura), banyak sekali perilaku anomali yang diawali oleh penolakan terhadap ideologi yang berbeda. Pembakaran rumah para kaum Syi’ah di Sampang pada 6-Mei -2013, saling musuh-memusuhi karena beda ormas, partai, pilihan kepala desa, bupati, gubernur atau kepala negara, sampai aksi saling tidak tegur sapa hanya karena beda dukungan club volley adalah beberapa contohnya. Sungguh konyol sekali jika hanya beda dukungan club volley jadi alasan untuk saling memusuhi bahkan ada yang sampai adu gulat.
Masalah ini seharusnya jadi bahan “kunyahan” para mahasiswa yang katanya agent of control dan agent of change. Bukan malah ikut-ikutan menjadi agent of disturbance. Mungkin sekarang mereka mengecam yang beda organisasi, tetapi bagaimana setelah nanti di masyarakat, dunia yang lebih kompleks daripada dunia kampus. Yang pasti kemajemukan akan bertambah pula. Bibit ini akan tumbuh dan jadilah mereka menjadi pribadi tukang tuduh, tukang caci. Prinsipya jelas: Yang berbeda adalah lawan. Dan masalah ini berlajut tak kunjung usai.
Dalam salah satu artikel Akhmad Sahal (Pengurus Cabang istimewa NU Amerika) yang berjudul Dalam Negara NKRI Tak Ada Orang Kafir dijelaskan bahwa, ulama besar ormas NU, KH. Ahmad Shiddiq mencetuskan tiga macam persaudaraan: Ukhuwah Islamiyah (saudara se-agama), ukhuwah wathaniyah (saudara se-negara) dan ukhuwah basyariyah (saudara sesama manusia). Beliau jelas ingin mengingatkan kita bahwa jangan sampai kita lupa, apapun perbedaan-perbedaan yang ada, kita tetaplah bersaudara. Bahkan jika berbeda agama sekalipun, kita tetap bersaudara sesama manusia. Apalagi hanya berbeda organisasi dan ideologi.
Perbedaan Ideologi Sebagai Media Diskusi
Dalam ajaran Islam, ada istilah fastabiqul khairaat. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Islam membebaskan masing-masing individu untuk berpikir dan menentukan jalan baik mana yang hendak dia pilih. Dengan catatan tidak keluar dari lingkaran syari’ah, itu sah-sah saja. Malah hal itu dianjurkan.
Konsep fastabiqul khairaat ini harus ditanamkan oleh para pengurus organisasi ekstra-kampus ketika menerima kader-kader baru dalam organisasinya. Hal ini dimaksudkan untuk membuka pemikiran-pemikiran mereka agar tidak menjadi kader tukang tuduh dan tukang caci yang hanya bisa menyimpulkan suatu urusan tanpa melihat dari berbagai sisi.
Rasa ingin bersaing memang perlu untuk merangsang para kader berproses. Tetapi jangan sampai rasa bersaing ini menjadikan mereka menjadi pribadi yang ekslusif. Sehingga terjadi apa yang disebut Nurcholis Madjid sebagai Claim Truth, saling klaim kebenaran. Dan akhirnya bukan rasa bersaing yang tumbuh, melainkan rasa ingin memusuhi mereka yang beda organisasi atau beda ideologi.
Perbedaan sejatinya adalah suatu keniscayaan. Pun menghindarinya juga suatu keniscayaan. Jadi, tak ada guna jika hanya berteriak satu sama lain untuk memaksakan interpretasi pribadi dipakai umum. Orang lain kita paksa untuk menerima berbagai informasi versi olahan nalar kita. Setiap manusia punya hak untuk menerima atau menolak pemikiran-pemikiran kita. Sama seperti kita juga punya hak untuk menerima atau menolak pemikiran-pemikiran mereka. Setiap individu mempunyai versi nalar masing-masing.
Alangkah lebih bijak jika kita menggunakan perbedaan-perbedaan yang ada sebagai sarana untuk berproses, saling bertukar pikiran untuk kemudian diambil mana yang lebih tepat. Bukan sebagai ajang saling menyalahkan. Kalaupun pada akhirnya tidak terjadi kesepakatan, setidaknya kita akan mengetahui pemikiran-pemikiran lain yang berbeda dari pemikiran kita. Sehingga kita akan menjadi lebih terbuka, lebih bijak dan tidak kolot dalam melihat suatu masalah.
Ciputat,
10-Mei-2017