21 April adalah hari kelahiran Kartini sekaligus hari besar nasional yang wajib diperingati. Peringatan ini dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 2 Mei 1964. Namun jauh sebelum itu, peringatan hari kartini sudah dilakukan secara rutin sejak masa Hindia-Belanda. Jika kita mau menelusuri delpher.nl, situs yang berisi tentang ratusan ribu sumber sejarah, maka kita akan menemukan ribuan surat-surat kabar periode Hindia-Belanda yang berisi tulisan tentang peringatan hari kartini setiap tahunnya.
Tulisan ini memiliki referensi dari buku berbahasa belanda yang dipublikasi pada tahun 1911. Buku ini bercerita tentang kisah Kartini. Ada baiknya, kita sebagai warga negara yang setiap tahunnya memperingati hari Kartini mengetahui setidaknya sedikit sejarahnya. Tulisan ini hadir untuk menginformasikan demikian.
Kartini adalah putri tertua dalam pernikahan antara bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat dengan Raden Ayu-nya. Ayahnya adalah salah satu lima putra bupati Demak yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro yang selama setengah abad menjadi orang yang tercerahkan karena memperoleh pendidikan. Menurutnya, pendidikan barat sangat penting dan harus didapat oleh anak-anaknya. Dalam tulisan C. E. van Kesteren, pemimpin redaksi harian Semarangsche de Locomotief dan pendiri Indische Gids, Pangeran berhasil menemukan guru dan pembimbing yang tepat bagi putra-putranya.
Lima putra bupati Demak berhasil tumbuh dengan sempurna. Kelima saudara tersebut tumbuh menjadi pegawai negeri yang luar biasa hingga membawa salah satunya memiliki jabatan bupati. Saat itu, Ario Adiningrat yang merupakan seorang direktur serta penulis beberapa artikel berbahasa belanda memperoleh nama kehormatan atas jasa-jasanya yang diakui oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemerintah memberikannya gelar jabatan tertinggi yang digunakan juga oleh ayahnya: Pangeran.
Ayah Kartini ingin mencontoh apa yang ia peroleh dalam kehidupan masa mudanya. Anak-anaknya, baik perempuan dan laki-laki harus belajar bahasa belanda, disamping bahasa mereka sendiri sebagai pembuka kunci pembuka pendidikan Barat. Oleh karena itu, Kartini pergi ke sekolah umum Eropa di Jepara. Ia kemudian berinteraksi dengan banyak teman keturunan Belanda dan dikenal sebagai murid yang rajin dan memiliki kemampuan langkah bagi orang-orang Belanda. Teman dekatnya bernama Letsy, seorang putri kepala sekolah. Letsy pernah berkata pada Kartini bahwa ia akan pergi ke Belanda untuk belajar di sekolah pelatihan guru. Kartini memiliki keinginan untuk melakukan hal yang sama. Namun, ketika ditanya apa yang dia inginkan, Kartini tidak berani menjawab.
Ketika Kartini membicarakan ini di rumahnya, ia meminta solusi. Kakak laki-lakinya memberitahu, “Apa yang seharusnya dilakukan? Ya, jadi Raden Ayu tentu saja.”
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Raden Ayu adalah sebuah gelar yang diperoleh perempuan keturunan keraton yang sudah menikah. Sedangkan gelar Raden Ajeng diperuntukkan untuk perempuan yang belum menikah.
Pada saat itu, Kartini sangat iri kepada Letsy. Letsy tidak harus menjadi Raden Ayu untuk dapat belajar menjadi seorang guru, sedangkan tidak dengan Kartini. Ia tidak mengerti mengapa hal ini terus terjadi.
Kehidupan sekolah akhirnya berakhir lebih awal dari yang diharapkan oleh Kartini. Pada musim gugur 1891, ketika ia berusia lebih dari 12 tahun, orangtuanya mulai menilai bahwa sudah waktunya untuk Kartini memulai kehidupan gadis-gadis muda Jawa. Kehidupan ini berarti Kartini harus diisolasi dari dunia luar. Ia harus diam di rumah orangtua untuk menunggu seorang pria yang sudah dipilih orangtuanya datang dan memperistrinya.
Kartini mencoba menolak, ia ingin membuat pengecualian baginya. Dia sangat suka belajar dan ingin terus melakukannya seperti saudara lelakinya yang berada di Hogereburgerschool di Semarang. Namun ayahnya menolak dengan lembut dan menganggap bahwa anaknya sudah berpikir terlalu jauh.
Kartini akhirnya harus tunduk. Dia tidak bisa membangkang dan harus berdiam diri di rumah orangtuanya. Betapapun indah dan luasnya kandang burung, tempat itu tetaplah sebuah kandang.
Awalnya ia masih memiliki Letsy, namun itu tidak lama setelah ia pergi studi ke “thooge Noorden”. Kartini merasa sendirian di rumah besar, dimana semua orang tidak ada yang memahaminya. Setelah berperang dengan pikirannya, Kartini memutuskan untuk menetap. Ada adat yang harus ia perhitungkan yang memboikot posisi gadis-gadis muda berutang ketaatan pada orangtua dan mematuhi kakak lelaki mereka. Seandainya ayah Kartini tidak selalu berlaku lembut padanya, mungkin Kartini akan berani memberontak.
Ayah memenuhi apa yang ia pikir bisa dilakukan di dalam rumah. Akhirnya, Kartini memuaskan hasratnya akan literatur dengan sangat kuat. Baginya, hanya di dalam buku-buku, ia menemukan kenyamanan. De Djaparasche Leestrommels van Hollandsche Indische menjadi sumber yang kaya kesenangan dan pembelajaran baginya.
Pada 1900, usia 21 tahun merupakan usia terpenting bagi hidup Kartini sejauh itu. Di lain sisi, saat itu terdapat seorang pria yang ditunjuk sebagai kepala departemen pendidikan: Mr. J. H. Abendanon. Ia mulai memahami dan merasakan dampak dari kehidupan yang mulai menampakkan diri dalam masyarakat pribumi. Ia sadar bahwa perkembangan masyarakat yang harmonis akan terjadi jika terdapat peningkatan diri pada calon ibu. Ia telah mendengar kabar tentang bupati Jepara, tentang pendidikannya, putri-putrinya yang berbakat, dan kemudian ia memutuskan bersama istrinya yang idealis untuk melakukan perjalanan ke Jawa Tengah. Ia ingin berkonsultasi dengan para pemimpin dari pribumi.
Berdiri di teras kabupaten, Kartini melihat kereta yang digunakan ayahnya untuk membawa para tamu dari stasiun ke halaman depan. Betapa bahagianya ketika Kartini melihat ayahnya duduk di sebelah Nyonya Abendanon dan suaminya.
Berkenalan dengan Abendanon dan istrinya adalah kebahagian bagi Kartini. Jiwa-jiwa yang semula padam kemudian bangkit lagi. Hubungan antara keduanya terjalin semakin dalam daripada hubungan kekerabatan. Keinginan membangun sekolah untuk anak perempuan bupati akan dilakukan. Pembuatan proposal pun dibuat. Mungkin, jika persiapan sudah tepat, Kartini akan diajukan ke sekolah tersebut sebagai guru. Ia bisa tinggal bersama keluarga Abendanon. Nyonya Abendanon sendiri yang akan menjemputnya.
Namun, sayang sekali. Kartini sungguh malang! Dia mengalami kekecewaan pahit pertamanya. Usulan sekolah tersebut ditolak. Setelah mendengarkan saran-saran bupati, mereka menyatakan bahwa tidak akan mampu membesarkan anak perempuan di luar rumah. Pemerintah menolak proposal tersebut.
Untungnya, Abendanon dan istrinya tidak menyerah begitu saja. Seorang guru telah ditunjuk untuk menggantikan guru yang telah dipindahkan ke sekolah Eropa di Jepara. Kartini dan saudara-saudaranya menghabiskan waktu di rumah keluarga Abendanon dan bertemu dengan orang Belanda lain yang berpikiran terbuka. Tidak ada yang lebih berkesan bagi Kartini selain bertemu dengan Dr. Adriani, perwakilan dari Dutch Bible Society, yang memiliki karya di Toraja, Sulawesi Tengah. Keinginannya untuk bekerja di bidangnya sesuai kepentingan umat semakin kuat. Terkadang ia berpikir untuk pergi ke Mojowarno, koloni Kristen asli di Jawa Timur. Ia ingin belajar kebidanan disana. Namun, ia lebih suka menjadi guru dan membuka sekolah asrama untuk anak perempuan khususnya pribumi. Dia menyadari jika harus pergi ke Belanda untuk mendapatkan kekuatan penuh, bebas dari pengaruh yang menghambatnya di Jawa.
Mr. Abendanon mengatakan jika lebih baik studi tersebut dilanjutkan bukan di Eropa melainkan di Hindia-Belanda. Kartini bisa melanjutkan studinya ke Batavia jika menginginkan. Gagasan ini timbul untuk mencegah pertengkaran dengan orangtua.
Sementara itu, sebuah peristiwa besar telah terjadi di kabupaten. Kardinah, saudara perempuan termuda Kartini, telah menarik diri dari “daun semanggi” dan memutuskan untuk menjadi istri seorang pejabat Jawa. Pernikahan itu tidak dianggap sebagai pernikahan Jawa biasa antara dua orang asing satu sama lain, tapi pernikahan antara seorang lelaki dan gadis yang telah lama saling kenal dan sukarela memilih satu sama lain. Hanya pernikahan demikian yang Kartini inginkan. Seiring bertambahnya usia, dia memperhatikan bahwa pernikahan Jawa biasa itu kadang-kadang bisa menghasilkan kebahagiaan. Dia memiliki contoh orangtuanya, dia juga memiliki contoh dari kakak perempuannya, yang ketika dia bertemu dengannya lagi setelah perceraian beberapa tahun ternyata telah berubah sepenuhnya dibawah pengaruh suami terbaiknya.
Pada bulan Agustus 1903, ia menulis kepada Ny. Abendanon, “Aku tidak akan memenuhi tugas mulia sebagai wanita lajang; seorang lelaki yang baik dan mulia akan membantuku dalam upaya kami untuk berguna bagi rakyat kami”.
Adipati Djojo Adiningrat adalah lelaki yang dipilih oleh Kartini. Ia adalah seorang Jawa dengan peradaban barat yang telah menerima sebagian dari pendidikannya di Belanda. Pendidikannya ini yang menjadikannya sebagai bupati Rembang. Ia adalah duda dan ayah dari beberapa anak, Kartini merasakan tugas yang dibebankan padanya sebagai hak istimewa untuk dapat dipenuhinya. Ia tahu bahwa Alamarhum ibu dari anak-anak itu memiliki simpati atas usaha Kartini. Jadi Kartini akan mengikuti ide-idenya sendiri tentang pendidikan dan bekerja dalam semangat Almarhum.
Pada 8 November 1903, pernikahan dilakukan dengan semua kesederhanaan. Fondasinya diletakkkan di rumah untuk pendidikan anak-anak.
“Aku menemukan ladang disiapkan disini; aku hanya perlu menabur lebih jauh”.
(Ditulis oleh Vidia Oktaviana, anggota GPAN Mojokerto)
Sumber:
Mr. C. TH. Van Deventer, Kartini, terbit tahun 1911.