IMBAS CORONA, PENDIDIKAN MERANA
Ditulis oleh Syifa’ Nurda Mu’affa
Potret dunia saat ini digemparkan dengan kemunculan virus corona tipe baru yang dikenal dengan Novel Coronavirus atau COVID-19. Virus ini menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan begitu cepat. Dilansir dari laman covid19.go.id, per 1 April 2020 virus ini telah menyebar ke 203 negara, 750.890 kasus terkonfirmasi, dan 36.405 kematian. Jumlah korban COVID-19 terus bertambah setiap harinya. Tentu hal ini menyebabkan kekhawatiran masyarakat dunia semakin bertambah.
Kasus ini pertama kali muncul di Indonesia setelah diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 Maret 2020. Seperti halnya dengan penyebaran di negara lain, wabah COVID-19 begitu cepat menyebar ke berbagai provinsi di Indonesia. Kasus positif COVID-19 di negeri ini sudah memakan banyak korban dan setiap hari semakin bertambah. Dilansir dari laman covid19.go.id, per 1 April 2020 sebanyak 1.677 orang positif COVID-19 dan 157 orang meninggal dunia.
Dampak Wabah COVID-19
Berkembangnya COVID-19 ini tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan saja namun juga pada sektor ekonomi, Pendidikan, dan lain sebagainya. Pada sektor pendidikan sendiri, COVID-19 telah ‘memaksa’ Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan aksi tanggap darurat secara nyata. Selama bulan Maret 2020, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan 3 surat edaran yang berisi kebijakan responsif atas penyebaran COVID-19.
Berbeda dengan dua surat edaran sebelumnya, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 berisikan kebijakan pendidikan yang lebih substansial dan unik. Ada 6 poin kebijakan yang ditetapkan dalam surat edaran ini, yaitu pembatalan Ujian Nasional (UN), pelaksanaan proses belajar di rumah, penyelenggaraan Ujian Sekolah (US), kenaikan kelas, PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), dan penggunaan dana BOS.
Melalui surat edaran tersebut, secara resmi pemerintah mengeluarkan aturan bahwa selama masa darurat COVID-19 proses pendidikan dan pembelajaran dilakukan di rumah. Kebijakan belajar ini berlaku untuk semua tingkat satuan pendidikan dengan harapan proses pembelajaran akan didampingi secara penuh oleh orang tua masing-masing serta tentunya untuk meminimalisir terpapar oleh wabah COVID-19.
Problematika
Pelaksanaan kebijakan belajar di rumah tentu berbeda dengan belajar di sekolah. Pertama, proses pembelajaran yang biasanya didominasi oleh peran guru ‘diambil alih’ oleh orang tua peserta didik. Orang tua terlebih seorang ibu sangat diharapkan untuk memaksimalkan perannya dalam menerapkan pola asuh yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun realitanya, di masyarakat luas tidak jarang ditemukan orang tua yang masih menggunakan kekerasan dalam melakukan pendampingan. Ada yang membentak, memaksa, bahkan sampai memukul jika anaknya tidak mau menuruti kemauan orang tuanya.
Kedua, proses pembelajaran di rumah harus dilakukan secara daring. Tentu proses ini membutuhkan sarana dan prasara yang memadai, seperti HP, laptop, jaringan internet, dan lain sebagainya. Bagi sebagian orang hal ini bukanlah hambatan, karena mereka telah memiliki alat- alat tersebut jauh sebelum kebijakan ini diterapkan. Namun hal ini akan bersifat memberatkan bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu. Apalagi hal ini diperparah dengan adanya himbauan physical distancing dan work from home yang digaungkan oleh pemerintah. Bagi para pekerja informal, tentu akan sangat mengurangi penghasilannya.
Ketiga, belajar di rumah tanpa ada format jelas yang diberikan pemerintah membuat pendidik improv dalam melakukan proses pembelajaran. Pendidik yang kurang kreatif dengan sepihak cenderung memberikan tugas yang berlebih kepada peserta didiknya. Imbas dari tindakan ‘kesalahkaprahan’ ini membuat peseta didik mengeluhkan ‘tumpukan tugas’ yang tidak rasional. Bahkan beberapa kali muncul surat himbauan baik dari kepala sekolah, ketua jurusan, atau bahkan dekan fakultas yang meminta agar pendidik memberikan tugas yang wajar dengan mempertimbangkan kondisi psikologis peserta didiknya.
Refleksi dan Solusi
Virus Corona (COVID-19) membuat dunia Pendidikan kita ‘bercermin’ untuk melakukan evaluasi, khususnya dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara daring yang banyak tertinggal. Pemerintah bersama stakeholder harus mampu berkolaborasi serta menurunkan gengsi dan tensi ego politisasi. Gerakan dan gebrakan baru harus segera diwujudkan guna menjawab tantangan yang ada.
Sementara itu, keberhasilan kebijakan belajar di rumah sangat bergantung kepada peran orang tua peserta didik. Saat anak sedang melakukan kegiatan pembelajaran, sebisa mungkin diberikan suasana rumah yang kondusif dan membantu anak dalam belajar. Kepekaan, ketulusan, dan perhatian yang lebih dalam pendampingan dapat menjadi stimulus psikologi yang positif. Sehingga anak akan semangat dalam mengikuti proses pembelajaran.
Belajar di rumah secara daring tentu membutuhkan media pembelajaran online dan jaringan internet. Sekolah dan kampus dapat memanfaatkan layanan e-learning gratis yang telah diberikan oleh beberapa platform online seperti ruang guru dan sejenisnya. Bagi yang membutuhkan jaringan internet juga dapat memanfaatkan kuota gratis yang telah disediakan oleh provider-provider seperti telkomsel, indosat, dan lain sebagainya.
COVID-19 juga ‘memaksa’ pendidik harus dapat beradaptasi dan membuat format KBM yang menarik tanpa mengurangi substansi materi yang harus dibelajarkan. Pemberian tugas secara ‘marathon’ dan malah melampaui batas bukanlah solusi terbaik dalam proses pembelajaran. Hal ini justru akan mengganggu kondisi psikologis peserta didik. Seharusnya pendidik dapat ‘meramu dan menyajikan’ pembelajaran yang efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan.