Oleh: Fatihatus Syahida
“Jika ingin melihat orang Islam, datanglah ke masjid pada waktu Idul Fitri. Namun, jika ingin melihat orang beriman, datanglah ke masjid pada waktu Subuh” (Dr. Hamka). Terdengar ironis ya? Begitulah realitanya. Saat hari raya, masjid-masjid tak mampu menampung jamaahnya yang meluber. Saat Shalat Idul Adha pun begitu. Lapangan yang biasanya jadi tempat parkir mobil ini disulap menjadi tempat shalat yang bisa menampung ribuan jamaah.
.
Hampir sama dengan saat Idul Adha sebelumnya di kampung saya, khutbahnya selalu berisi tentang kisah “Ibrahim dan Ismail yang menjadi asal disyariatkannya ibadah haji dan qurban”.Namun, di tanah rantau ini, sang khatib mengeksplorasi kisah itu menjadi muatan hikmah yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan saat ini.
.
Keikhlasan menjadi kunci utama wujud penghambaan manusia kepada Rabbnya, sekalipun harus menanggalkan sesuatu yang paling dicintainya. Bertahun-tahun Ibrahim menantikan buah hati yang kelak akan melanjutkan dakwahnya, tetapi ternyata Allah meminta Ismail kembali. Adakah orang tua yang mampu mengorbankan anak yang amat dicintainya? Tentu bisa dikatakan: tidak ada. Namun, cinta Ibrahim kepada Ismail benar-benar lillah. Ya, cinta yang lillah tentu tidak akan memudarkan cinta kepada Sang Pemilik Hati. Dan akhirnya, Allah memberikan penghujung yang sangat indah bagi setiap mukhlis. Ibrahim tetap bisa bersama Ismail tanpa harus menggadaikan cintanya pada Sang Khalik.
.
Anak adalah ladang kebaikan untuk orang tuanya, begitulah seharusnya. Begitu kuatnya keimanan dan ketaqwaan Ismail, hingga ia justru mendorong sang ayah untuk menyembelihnya demi memenuhi perintah Allah. ‘Rabbi habli minashsholihin’, ucapnya. Ini menjadi PR besar bagi para orang tua: bagaimana menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan yang kuat pada diri anak? Tentu orang tua harus mampu menjadi teladan yang baik dan selalu mendoakan sang anak di setiap sujudnya. Semoga kita diberi keistiqamahan dalam menjaga keimanan, ketaqwaan, dan keikhlasan dalam menjalankan kebaikan. Aamiin