Coffee Corner

posted in: Cerpen, GPAN Regional Jogja | 0

Apa menurutmu, kenangan itu bisa mengubah sesuatu?

—Izz

Story by: Kka

 

Ada sebuah ruang di bawah guyuran cahaya fluorescent putih, sudut kafe bernuansa hitam yang diam-diam justru bercahaya buat aku dan orang itu. Di setiap pagi, setiap pintu flat-ku menutup diiringi aroma kopi yang samar-samar.

Kadang setelah kapal yang kutumpangi berlabuh di dekat pont Neuf, aku merasa harus buru-buru mengambil antrean di kafe itu. Memesan segelas kopi atau sepotong waffle keju.

Ada sapaan lembut dari aroma-aroma manis, gurih, lalu suara kaki-kaki yang menyusuri arrondissement 5. Quartier Latin menyisakan warna khas yang berbekas di setiap akhir pekan. Rutinitas yang berkesinambungan tanpa tahu kapan akan berubah atau bahkan berakhir.

Itulah sebentuk memoar tentang sudut kafe dan secangkir kopi, aroma pahit-manis dari asap tipis cappuccino yang membuncahkan rasa rindu untuk kembali mengecap lagi dan lagi.

Dunia tanpa batas, di atas secangkir hitam itu—perihal senang dan sedih, lalu air mata dan tawa meleleh, lebur dalam tetes-tetesnya.

Bahkan jika ini bukan di Paris, bagiku tetap akan ada kenangan bersama orang itu dan para cangkir kopi. Sebuah garis yang jelas tercetak dalam benakku ketika kami mulai bersama-sama menyusuri jalanan di musim dingin, menggenggam cup cappuccino kecil dan kamera pocket. Hanya dengan begitu saja, sudah cukup untuk mengukir sepotong senyuman.

“Apa aku seorang pecandu?” kataku pelan dan tanpa niat yang berarti. Orang itu menatapku cukup lama dan dengan tatapan yang dalam, seolah berkata: menurutmu bagaimana? Lalu aku tertawa kecil sebab pemuda dengan coat hijau tosca itu memutuskan tetap berdiam kata.

“Aku rasa memang aku kecanduan—” melirik lagi sumber kepulan asap kecil di depanku, aku merasa semakin tersihir dengan aromanya.

Dari semua jenis racikan biji hitam itu, tak bisa kupungkiri bahwa negaraku patut berbangga diri sebab menjadi salah satu sumber terbaiknya. Aroma Arabika yang menguar dan berlabur di atas cangkir, kadangkala membelenggu lidahku dengan begitu benar dan pas. Seolah-olah meski telah dituangi susu dan gula, arabika yang melebur dalam shot pekat itu tetap mendominasi setiap mili cairan yang kuteguk pelan-pelan.

“Gara-gara kau!” dulu aku tak pernah setuju dengan pendapat Zulfa mengenai candu yang tumbuh dari secangkir kopi, saudara kembarku itu sampai bersumpah meyakinkanku tentang rasa nikmatnya kopi.

Sampai saat itu aku tetap bergeming, tapi kemudian dengan penuh pesona, cairan hitam itu mengalirkan sensasi menggelitik yang unik. Mencari titik lemahku, membawa serta akalku pada kesadaran yang menjerat dalam tara baru. Lalu  menyentuh indra pengecapku sangat pelan, sedikit aneh saat pertama kali. Pahit yang dominan dari esspreso kental tapi juga manis di sisi lidahku yang lain entah dari susu atau krimer.

Seperti sihir yang muncul di rongga mulutku, aku dibuat terpana dan jatuh cinta seketika. Ini gila tapi memang rasanya membangkitkan kerinduan, seperti morfin—melenakan.

“Ini ajaib, aku rasa Tuhan memang adil. Kau lihat, dia itu hitam. Tapi coba kau hitung berapa banyak yang menjadi fans-nya?” aku berkata dengan penuh semangat, berbanding terbalik dengan pemuda di depanku yang menanggapi dengan muka stoiknya.

“Aku rasa fans BTS saja kalah banyaknya dengan fans kopi.” gumamku pada diri sendiri.

“Kau kemana saja selama ini?” pemuda itu bergumam sambil menegakkan tubuhnya.

“Huh? Eh, itu—”

Saat itu aku sadar bahwa kopi sudah berhasil mengalihkan gaya minum yang selama ini aku patenkan dengan jenis-jenis minuman mewah. Dan tahukah, orang yang mengenalkanku dengan si hitam adalah pemuda dengan bibir tipisnya yang selalu bisa melontarkan pemantik tawa buatku.

Pemuda itu! Izz, nama orang itu adalah Izz. Pemuda Asia dengan warna bola mata seperti kelereng cokelat—yang manis, berkilau dan tajam dalam satu waktu. Itu adalah istilah three in one paling kusukai, mata Izz adalah tiga sifat berbeda yang menyatu lalu tergaris pada irisnya dengan begitu teratur dan indah.

“En, BTS itu siapa?” dari sekian banyak hal, aku heran kenapa dia harus menanyakan tentang BTS.

“Heeh? Kau tak tahu?”

“Kalau kau tanya padaku siapa Rasulullah, aku pasti tahu.”

“Dih, aku itu juga tahu, Izz. BTS itu boyband—”

“—Korea?” Izz memotong ucapanku cepat, sudut bibirnya kotor oleh bekas latte-nya.

“—Selatan. Iya, mereka dari sana.”

“Oh.” dan detik berikutnya Izz sibuk dengan makanannya. Aku mengangguk saja dengan jawabannya, aku yakin dia juga tak begitu serius tentang—siapa BTS?

Seperti salju yang muncul di bulan Desember dan menguap bersih di akhir Februari, bergantian dengan daun-daun mungil yang segar lalu angin sejuk mulai mengisi kusen-kusen jendela. Ada rasa yakin yang menggantikan keraguanku pada Paris, pada apa yang mungkin terjadi ketika aku sendirian dan jauh dari rumah.

Namun sekali lagi kutegaskan, rasa ragu itu hilang sebab Izz bersedia menjadi sejumput panas yang menguapkan gumpalan kesangsian itu. Bagi kami, sekarang itu sudah barang wajar. Sama halnya kewajaran di setiap pagi, meja lebar dengan berpasang-pasang alat makan. Lalu seolah memang sepatutnya sebuah piring pagi diisi potongan waffle dan selai buah atau lumuran madu. Dengan dijejeri cerek teh manis, bersama asap yang bersinambungan dan aroma susu—berkolaborasi lalu menari-nari—tepat di atas kertas abu-abu lebar yang penuh dengan kata-kata. Kadang juga pagi yang kami miliki hanya didasari dengan satu cup kecil Americano.

“Huh! Kopi sialan, aku mencintaimu!” dengan gemas dan penuh rasa ingin untuk meminum lagi, aku kembali menyesap kharisma pahitnya. Tak peduli dengan efek lain yang bisa kapan saja membuat asam lambungku naik. Kafein kopi memang seperti pisau bermata dua, tapi toh aku bisa belajar memakainya dengan benar.

“Ya aku juga mencintaimu!” kata Izz tiba-tiba, dia mengangkat cangkir kopinya lalu mencium kecil sudut lingkarannya. Dan itu sukses membuat kami tertawa bersama meski sejujurnya tak ada hal yang lucu dari tingkahnya. Namun jauh dari kata nyata, kalimat itu entah kenapa perlahan-lahan menghangatkan sesuatu yang abstrak di dalam sini.

Di sisi lain kota mode itulah takdir Tuhan berputar-putar, melalui penyajian kata-kata singkat dengan batasan budaya masing-masing. Kami berawal dari aku dan dia—yang pendiam bertubrukan dengan si ingin tahu, penyuka kopi dan penyair stoik? Jika kami adalah minuman, orang hanya akan berkerut wajah dan menjauh sebab kami adalah perpaduan yang sangat aneh. Ada mikrokosmos yang muncul di antara kami, dunia baru yang buatku sangat asing namun juga sangat kerasan.

Quartier Latin dan pojok kafe yang menyediakan bercangkir-cangkir racikan kopi itulah, tempat yang ditakdirkan Tuhan untuk pertemuan pertama kami.

Aku dan Izz.

 

Í

ilustrasi: spesial

“Apa artinya aku buatmu?” aku menarik-narik ujung lengan coat miliknya. Kami sedang berjalan di sepanjang trotoar arrondissement Paris 6, sisa musim dingin menyisakan lelehan es di pojok-pojok tembok dan tepi jalanan. Seniman-seniman jalanan sibuk memainkan gitar, keyboard dan biola mereka, membuat hangat ruas-ruas jalan ini.

“Kau mau aku anggap apa?”

“Entahlah.” aku melepas pegangan tanganku di lengan coat-nya. Menyusuri senja dengan pemuda pendiam itu menjadi hal yang—hampir—wajib buatku.

Menemani dia hingga larut malam karena tugas kuliahnya menumpuk, di saat lain, seringkali aku harus menghangatkan sup untuk dikirim ke flat-nya karena dia kelaparan. Atau juga beberapa malam sekedar dilalui dengan duduk berdua, menghitung lampu-lampu kota sebagai pengganti bintang sebab aku terserang insomnia.

Izz adalah Zulfa kedua bagiku, kakak sekaligus teman yang lama-kelamaan mereduksikan statusnya dalam salah satu memoriku. Menyempitkan posisinya hingga bisa lebih jauh lagi menempati sela-sela keabstrakan rasa yang ada.

“Bagaimana denganku?” Izz menengok sekilas, ada senyum jahil di bibirnya yang membuatku ingin menimpuk kepalanya saat itu juga.

Kadang ada saat ketika aku melupakan betapa dia mengkhawatirkan kondisiku ketika seharian penuh aku menghilang tanpa kabar. Atau saat ketika dia menemuiku dengan badan basah kuyup, mengantarkan payung sambil memarahiku sebab keteledoranku yang sangat tidak penting. Biasanya kami berakhir dengan berbagi cerita tak penting dengan secangkir kopi instan—karena aku tidak bisa meracik kopi.

Bagi kami, itu tak masalah walupun sejujurnya beberapa hal benar-benar terlampau dekat atau sangat tabu bagi orang lain. Seolah-olah hal kecil seperti membetulkan letak dasinya atau dia yang membenarkan bonnet-ku. Kegiatan yang semakin biasa buat kami, sesekali dengan konyolnya Izz mau saja datang ke flat-ku saat kubilang aku mendapat mimpi buruk. Tengah malam! Bahkan jika itu hanyalah keusilanku, dia tetap datang.

Ada yang mendorong sisi lain diri kami untuk selalu ada di sisi masing-masing.

“Kau apa? Bicaralah dengan jelas, kau ini selalu pelit kata, ya?” aku menggerutu  sambil memukul pelan bahunya. Dia hanya menatapku dengan sorot mata yang—meski aku mencoba memahaminya—itu masih susah dimengerti.

“Bagaimana jika aku jadi kopi?” Izz berhenti tiba-tiba, helai rambut hitamnya mengayun ke kiri, terbawa arah angin.

Itu mengingatkanku pada saat kami berdiri di puncak Arc de Triomphe di simpang Champs-Élysées dan dia berteriak keras-keras dari atas sana. Rambut hitamnya dulu hampir sebahu, beberapa kali aku sengaja bermain-main dan menguncirnya ke atas. Membuatnya seperti tokoh bangsawan Korea di era Joseon.

Pernah suatu siang di musim gugur, kami sengaja pergi ke  pulau berbatu di perbatasan Brittany dan Normandia. Lalu jalan-jalan di biara Le Mont Saint Michel, piknik dadakan dengan sekaleng cappuccino dingin untukku dan sekaleng mocha untuk Izz juga sandwich di tangan kami masing-masing. Menghabiskan kertas foto dan membuat panas kamera polaroid milik Izz.

Satu bingkai baru tentang Izz dan kota Paris. Dia dengan senyum kecil yang menawan dan tawa keras yang hangat dan sangat menenangkan.

“Kopi? Kau mau jadi kopi?” dahiku berkerut ke tengah, bingung. Lama-kelamaan menjadi bete karena—ya Tuhan!—Izz itu susah sekali dipaksa untuk menjawab petanyaan. Dia selalu punya cara untuk membuatku kesal, dan selalu punya cara juga untuk mengusir jauh-jauh ke-bete-an itu.

Pernah sekali aku benar-benar merasa gondok padanya, itu adalah musim hujan tahun kemarin. Ketika aku dan Izz pulang ke Yogyakarta bersama—untuk pertama kalinya.

Zulfa adalah alasan aku marah pada Izz, tidak. Lebih tepat alasannya karena Izz dengan sengaja menonjok muka Zulfa sebab kami berpelukan di bandara. Ya Tuhan! Kami bukan anak kecil, apa salahnya memeluk kembaranku sendiri? Kalau orang itu bukan Zulfa dan aku tak berniat memeluknya, aku tak akan marah meskipun Izz membuat orang itu babak belur. Tapi itu Zulfa! Saudaraku, kami kembar! Salahku juga sebetulnya karena lupa memberitahu dia bahwa saudara kembarku itu laki-laki—Izz mengira Zulfa itu perempuan.

Yang aku tak paham sampai sekarang adalah respon Zulfa yang justru tertawa terbahak-bahak begitu sadar bahwa Izz melakukannya karena tidak tahu kembaranku laki-laki. Apanya yang lucu? Satu hal lagi, aku tidak pernah suka orang yang paling kusayang dilukai siapa pun, termasuk oleh Izz. Meskipun sejujurnya itu berlebihan, Zulfa bahkan langsung care dengan Izz.

Aku sungguh tidak bisa memahami jalan pikiran laki-laki. Terlebih, sampai sekarang masih ada pertanyaan kenapa aku harus marah pada Izz saat itu, catat: aku berhenti bicara dengannya hampir tiga hari setelah kejadian dia-tidak-sengaja-menonjok-Zulfa. Sebagai imbasnya, kakakku yang terus membujuk dan mengatakan itu hal yang wajar untuk laki-laki. Sayangnya dia lupa bahwa aku perempuan dan hal itu sangat tidak wajar buatku.

Pulang pada realitas, aku menunggu dan menebak-nebak jawaban yang mungkin akan keluar dari mulut Izz.

“Hn.” Hanya itu yang Izz katakan—sungguh dia ingin dipukul!

“Ugh! Memangnya kenapa dengan kopi?” sekali lagi, aku menarik ujung lengan coat yang dipakai Izz. Aku tak tahu apakah aku yang bodoh, kurang peka, atau memang dia yang penuh misteri dan—itu sangat menyebalkan!

Dia tak merespon, lalu kaki panjangnya kembali dilangkahkan dan seketika suara-suara di sepanjang Paris 6 terasa amat mengganggu buatku. Padahal biasanya aku sangat menyukai suara pecahan piring di kedai khas Yunani, Greg maupun resto Turki. Aku suka canda keras dan tawa para turis maupun orang lokal Paris, tapi gara-gara jawaban Izz yang kurang ajar itu rasanya mood-ku menguap begitu saja.

“Izz, kenapa dengan kopi?” seperti anak kecil yang merajuk, aku berhenti dari langkahku yang pendek-pendek.

Sejurus kemudian aku menatapnya redup dengan ekspresi secemberut mungkin. Angin senja menyapa ujung syal putihku, membuatnya berkibar di belakang leherku. Izz masih tetap diam, lalu entah sejak kapan tubuhku tahu-tahu sudah berpindah ke dalam dekapan tangan Izz.

Dengan jelas aku bisa mendengar detak jantungnya yang berantakan. Aku ingin berontak, tapi lengan kekar Izz menahanku. Untuk pertama kalinya aku merasakan terpaan nafas Izz di puncak kepalaku. Ada ketidaktenangan yang justru semakin nyaman pada akhirnya.

“Izz, kenapa—”

“Shh! Biarkan sebentar saja.”

Aku menurut, hingga sebentar yang Izz maksud berkahir sekitar lima menit setelahnya. Saat itu dekat jantungnya sudah lebih stabil dan ketika aku menatap wajahnya lagi, ada kecanggungan seperti pertama kami bertemu.

“Izz?”

“Hn.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Soal apa?”

Kopi. Kenapa kau mau menjadi kopi?”

Lagi-lagi ada jeda yang dibuat oleh Izz, kali ini aku mencoba sebisa mungkin untuk tidak merajuk. Aku rasa ada hal yang sulit baginya tentang kopi yang aku tanyakan.

“Karena kau menyukai kopi, kau mencintainya.”

“Izz?”

 

 

 

 

Comments are closed.