Cerpen : Permen Kapas

posted in: Cerpen, GPAN Regional Malang | 0

PERMEN KAPAS

oleh : Desi Ayu S.

Pagi yang cerah di hari Minggu yang dipenuhi awan putih. Kumpulan permen kapas putih yang lembut itu, serasa semua orang ingin memakannya dan menghanyutkannya dimulut. Permen kapas, siapa yang tidak menyukainya? Dari yang muda hingga yang sudah berumah tangga pun suka. Aku dan keluargaku buktinya, permen kapaslah yang menjadi perekat kehangatan itu.

Pagi ini aku pergi ke Kebun tepatnya di kompleks rumahku untuk bersantai. Dengan menaiki sepeda hitam dengan corak biru tua yang menghiasinya. Hadiah ulang tahunku sewaktu aku berumur 14 tahun, tepatnya saat aku duduk di bangku SMP.

Awan permen kapas, yang membuatku sangat ingin melahapnya dan melelehkannya dimulut. Begitu indah kulihat sambil duduk di bangku taman Kebun seorang diri, ditemani sebuah buku gambar dilengkapi pensil dan penghapusnya. Hobiku menggambar, tepatnya melukis. Melukis wajah seseorang. Kini mataku sedang memburu suatu objek yang akan menarik hatiku sehingga memberikan perintah kepada tanganku.

Seorang gadis, dengan jilbab yang menutupi separuh badannya dilengkapi rok yang berwarna hijau kalem yang manis. Berjalan sendirian, yahh mungkin tak terlihat aneh. Namun yang membuatku tertarik, dia membawa sebuah tuding quran  kecil. Dia mengayun-ayunkan tuding quran  kecil itu di awan. Setelah memutar-mutarkan tongkat itu, dia mengarahkannya ke mulutnya namun tak sampai menyentuh bibirnya. Dia membuka mulutnya seakan-akan sedang melahap sesuatu dari tuding  quran  itu. Lalu dia tertawa kecil.

Kini hatiku memberikan perintah agar tanganku cepat melukiskan gadis itu beserta tongkatnya. Belum sempat aku menyelesaikannya, gadis itu berlari. Hanya wajahnyalah yang kini tergores di buku gambarku. Aku memperhatikannya, dia berlari menuju penjual permen kapas. Dua jari lentiknya membuat sebuah kode sehingga penjual itu sangat mengerti maksudnya. Dia memesan dua permen kapas. Aku tersenyum tipis melihat tingkah lucunya. Gadis yang berjilbab itu, aku yakin dia adalah santri di Ponpes tepatnya di dekat Kebun.

Ponsel yang berdering, membuatku harus menghentikan semua aktifitasku. Sebuah pesan masuk dari ibu, ibu bilang ingin pergi ke mbak Nanik seorang penjahit. Aku harus segera pulang dan mengantarnya.

Minggu berikutnya, sengaja aku datang ke Kebun lagi untuk melihat gadis berjilbab yang memakan permen kapas. Namun, pagi ini tak ada permen kapas di langit. Awan bergerak lesu, sangat ringan, dan tak bersemangat. Tak sebanyak minggu lalu. Apakah gadis itu akan datang walau di langit tak ada permen kapas?

Aku duduk terdiam mengamati sekelilingku. Banyak keluarga yang asik bersama. Berkejaran, atau hanya sekedar nyemil dan bersantai bersama. Mengingatkanku pada ayah yang sibuk bekerja di sebuah pabrik. Kesibukannya di luar sana tak memberikanku sebuah celah untuk menghabiskan banyak waktu bersamanya.

Entahlah, sudah minggu ketiga ini aku tak melihat gadis itu. Mungkin gadis itu tak akan datang ke sini lagi. Namun, aku akan tetap menunggu kedatangan gadis itu.

Terlihat dua pemuda yang sedang bercakap-cakap di depan gerbang pondok. Aku mengamati mereka berdua. Asik, sederhana, rasanya nyaman sekali. Mendorong kakiku agar aku cepat melangkah menghampiri kenyamanan itu.

“Assalamu’alaikum.” Sapaku ramah kepada mereka.

“Wa’alaikum salam.” Jawab mereka hampir serentak. Tangan mereka langsung menjabat tanganku tanpa adanya perintah. Aku sedikit kikuk untuk menyambutnya.

“Aku Ilham, lagi ada kegiatan ngaji, ya?” tanyaku celingak-celinguk melihat masjid pondok itu.

“Oh, nggeh, Mas. Mas mau ngaji juga? Monggo masuk ke dalam mawon.” Ajak laki-laki yang memakai kopyah putih bercorak abu-abu tua.

“Lho, bukan begitu, Mas. Saya hanya mau bertanya saja. Lagian saya kesini juga ndak memakai sarung dan kopyah.” Kataku gelagapan. Melihat diriku yang memakai kemeja kotak-kotak, celana jeans dan sepatu sport rasanya kurang sopan untuk mengaji.

Ndak apa-apa, kok, Mas. Di masjid juga ada sarung dan kopyah. Kalau Mas ndak suka bisa pinjam punya saya nanti.” Kata laki-laki yang memakai kopyah hitam polos sumringah.

Akhirnya aku mengikuti apa yang mereka sarankan. Kemudian Farhan dan Syaiful, nama kedua laki-laki itu, mengajakku menuju kamar pondok mereka. Di dalamnya sangat nyaman, penuh kesederhanaan khas anak pondok. Sepertinya aku akan betah jika tinggal di sini apalagi banyak teman yang baik seperti mereka berdua.

Lengkap sudah, kopyah putih polos, baju koko biru tua, dan sarung kotak-kotak kini terpajang apik di badanku. Aku mengikuti mereka menuju masjid, setelah mengambil air wudlu aku dipinjami sebuah Al-Qur’an oleh Syaiful. Kami pun tadarus bersama. Malu rasanya karena masih tertatih-tatih membacanya. Sadarku tak pernah lagi menyentuh kitab suci ini. Astaghfirulloh..

`“Mas Ilham, kalau tiap hari minggu ikut tadarusan di sini juga boleh, kok. Nanti saya tunggu di gerbang depan.” Farhan tersenyum tipis.

“Insya Allah, ya, Mas.” Aku membalasnya. Sebenarnya aku juga sangat ingin bisa mengaji lagi tapi entahlah, tugas sekolah tak mau dikalahkan dengan apa pun, selalu ingin nomer satu dan tak ingin kalah dari siapa pun.

“Aduh!” pandanganku teralihkan oleh suara keluhan itu. Gadis yang sedang berjalan dengan mukenah yang masih ia kenakan melihat ke arah bawah. Ternyata jepit sandalnya terlepas. Teman-teman di sampingnya mentertawakannya. Dia pun tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Jepit sandal itu dimasukkannya ke lubang semula. Sandal itu akhirnya bisa dipakai lagi. Yup, dia adalah gadis permen kapas.

“Hehe, dek Arini itu selalu saja lucu tingkahnya.” Syaiful ikut tertawa.

Minggu ini, kumantapkan niat dan semangatku. Dengan kopyah, baju koko, sarung, dan kitab suci di dalam tasku aku berniat untuk tadarus lagi di pondok.

Janji Farhan dan Syaiful memang bisa dipegang. Nyatanya, mereka asik bercengkrama di depan gerbang menungguku. Senyum yang mengembang dari mereka sangat hangat menyambutku.

Usai tadarusan, aku mengajak mereka berbicara. Tentang pondok dan sekolah mereka, hingga akhirnya rasa penasaranku tak bisa aku pendam lagi.

“Oh iya, Arini. Waktu itu saya melihatnya berjalan sendirian di Kebun. Meskipun dia sendirian tapi masih tetap ceria, ya?”

“Ya! Arini memang anak yang ceria, disukai banyak orang karena selalu bisa membuat orang tersenyum dengan mudahnya.” Syaiful menjelaskan.

“Dengar-dengar, ada anak pondok putra yang naksir, sih. Tapi entahlah, di pondok kan dilarang berpacaran.” Tambah Farhan.

“Mungkin, Mas Ilham juga tertarik dengan dek Arini?” Syaiful menyenggol tanganku pelan sambil tersenyum menggoda. Aku hanya tersenyum dan sedikit menggeleng. Namun, jujur saja, siapa yang tidak tertarik melihat Arini yang manis seperti permen kapas itu?

Minggu ketiga, usai tadarus aku memberanikan diri untuk menemui Arini. Aku memberhentikan langkah anggunnya yang sedang memeluk Al-Qur’an usai tadarusan.

“Assalamu’alaikum, Arini, ya?” tanyaku agak grogi.

“Wa’alaikum salam, Mas ini siapa? Baru mondok, ya?”

“Ohh, ndak, saya hanya ikut tadarusan saja setiap minggu.” Begitulah kami berkenalan. Dia pun sudah mengetahui namaku. Setiap usai tadarusan kami tak lupa saling menyapa. Di sisi lain, benih cinta yang tumbuh kini semakin tak terkendali. Apakah aku akan mengungkapkannya? Dengan gadis permen kapas solehah itu?

“Hehehe, jadi Mas Ilham tau? Wahh! Saya jadi sangat malu.” Arini tersipu mendengar ceritaku tentang tingkah lucunya saat pertama aku bertemu dia.

“Hehe, tenang saja. Saya juga suka permen kapas, kok.” Tawa kami pecah.

Minggu demi minggu rasa nyamanku mengembang dan semangat untuk mondok pun membara. Namun, ibu tak sependapat denganku. Alasannya karena ibu sendirian di rumah, ayah jarang di rumah karena terlalu sibuk bekerja, aku memakluminya. Ridho orang tua adalah ridho Allah juga. Jadi aku tetap sekolah tapi tetap rutin mengaji di Pondok tiap minggunya. Bukan hanya tadarus, tapi juga mengaji kitab sehingga ada pedoman tambahan untuk hidup. Karena di samping ilmu umum itu penting, ilmu agama juga penting.

Di sisi lain, rasa yang terpendam untuk Arini semakin menjadi. Hingga aku memutuskan untuk mengutarakannya walau aku tahu, kemungkinan besar dia menolak hubungan pacaran. Tapi niatku hanya untuk mengutarakan isi hatiku.

“Dek Arini, mungkin saya sangat lancang hari ini. Tapi izinkan saya mengutarakan perasaan saya.” Pembuka kata yang lancar dan santai dari mulutku.

“Kenapa, Mas?” Arini tersenyum, namun dia tampak sangat bahagia. Mungkinkah dia mengetahui maksud tujuanku? Aku pun menghela nafas panjang. Kumantapkan hatiku untuk bisa mengutarakannya.

“Saya sudah lama naksir Adek, tapi saya ndak berharap jadi pacar Adek. Saya cuma ingin mengutarakan isi hati saya.” Kataku lega. Namun, dia terdiam untuk beberapa saat. Membuatku khawatir kalau dia sangat marah atas sikapku.

“Mas, saya tunggu lamaran dari Mas Ilham.” Senyum yang merekah itu tak bisa disembunyikannya. Aku pun sangat bahagia. Menghalalkan gadis permen kapas yang manis dan solehah itu, akan selalu kunantikan dalam hidupku. Dek Arini, tunggu Mas tujuh tahun lagi, ya. Sejuta permen kapas hanya untukmu.

.

Comments are closed.