Air Mata Langit
Mata dengan bulu yang lenting mengerjap-ngerjap. Bau khas tanah menguar, disusul dengan tangannya yang sebelah kiri basah. Rasa dingin merayap hingga membuatnya terbangun. Ah, rupanya bukan pemilik toko yang membangunkan dirinya.
Wajahnya yang kusut, ia mandikan dengan air hujan melalui kedua telapak tangannya yang kini memutih. Dari tadi ia sibuk main air. Belakangan ini air dari langit jarang menjamah bumi. Jadilah hujan kali ini suatu berkah baginya bisa mandi gratis.
Lelah karena terus berdiri. Tubuhnya yang kurus kering duduk merapat ke pintu toko yang belum terbuka. Barangkali, pemiliknya sedang kehujanan di tengah jalan atau masih tertidur pulas bermusikan guntur. Dia menatap butiran-butiran air yang turun bersamaan itu. Kata orang, hujan dapat memanggil memori. Dan itu benar. Ia kembali tercenung memikirkan masa lalunya dulu. Gemilang prestasi.
“Arman, Selamat! Kau memang kebanggaan saya!” ujar dosen favoritnya, Mr. Johnson. Dia tersenyum pongah sambil menyalami dosen yang menganggapnya anak emas.
Predikat cumlaude disabetnya. Kata orang itu salah satu kunci masa depan yang cerah. Memang benar, namun tak selamanya begitu. Kala itu, rambutnya masih cepak tak menjuntai berantakan seperti sekarang. Matanya bersinar penuh optimisme, tak sendu layu.
Dia ingin menagis. Tapi apalah yang perlu ditangisi? Kehilangan masa muda? Menyesali perbuatannya? Itu sudah jauh tertinggal di belakang. Pria itu benar-benar ingin menagis sekarang. Dan hujan pun mewakilkan air matanya.
Lima belas tahun yang lalu. Dia ingin mengatakan ada satu hal yang berbahaya selain harta, tahta dan wanita. Yaitu, narkoba. Pria itu tidak pernah menyangka otak cerdiknya sebodoh itu.
Pria berwajah kusut itu baru saja diwisuda. Ah, tentu saja wajahnya tak sekusut sekarang. Wajah itu dulunya tergolong tampan. Hingga hanya melihatnya saja kau tau bahwa dia berpendidikan dan mapan.
“Bagaimana? Tawaran ini sudah kulayangkan berkali-kali padamu. Apa gaji segitu belum cukup?” Pria lain berambut klimis menyodorkan kontrak taken yang tak kunjung ditanda tangani.
Pria berambut klimis bukan main menawari si pemuda kita. Jika pemuda itu bisa memblokir sistem pengamanan bandara. Dia diberi pulau pribadi di Amerika Tengah. Itu tawaran pertama. Tawaran kedua yang telah diupgrade, pulau tersebut sudah difasilitasi bak hotel berstandar internasional. Pemuda itu sudah memikirkan tawaran itu sejak pertama kali datang. Baginya membobol sistem jaringan itu semudah membalik telapak tangan apalagi dia didampingi master asal Singapura, China, Amerika, dan Brazil. Dia anggota penyempurna proyek ini. Karena tanpanya, master IT dari negara adidaya tak pernah bisa berkutik.
Pemuda itu menyunggingkan senyum. Senyuman yang diartikan Pria klimis, Apa hanya itu tawaranmu?
Pria klimis mengusap wajahnya frustasi. Dia hampir menyerah menghadapi pemuda Indonesia ini.
“Oh God! Itu tawaran yang lebih tinggi daripada rekanmu dari negara lain!”
“Tidak mungkin si Amerika mau kalau begitu. Aku tidak sebodoh yang kau kira, Tuan. Dan aku bisa beralih ke proyek yang lebih menguntungkan,” ujar si pemuda tenang.
Selepas gelar doktornya di Amerika pemuda itu memang benar-benar mengenal orang Amerika kebanyakan. Sehingga dia tau sekali sifat mendasar bangsa benua temuan Colombus itu.
“Sial. Kau sungguh membuatku jengkel, Nak,” pria klimis itu menyunggingkan senyum sangarnya. Pemuda itu tersenyum misterius.
Dering telpon berbunyi memecah keseriusan dua pria itu. Pria klimis mengangkat teleponnya. Berdiri membelakangi Pemuda yang sedang duduk manis di sofa panjangnya.
Kilasan senyuman anaknya tiba-tiba menerjang masuk. Berlarian di antara kaki si Pria klimis. Dia memandangnya penuh kerinduan. Anak yang amat ia sayangi. Kenangan demi kenangan melintas di depan matanya.
“Ayaaaaah,” bocah kecilnya menyongsong Ayahnya yang datang. Dia tersenyum kecil. Masih bahagia. Anak laki-lakinya berumur 7 tahun. Tumbuh sehat, cerdas, dan tampan.
Tidak ada yang kurang dalam hidupnya. Dia memiliki Karina di sisinya, wanita lembut yang penuh kasih sayang. Dia pandai memasak, suka bercerita, dan tidak pernah lelah menantinya pulang. Keluarga kecil yang bahagia. Memang begitu seharusnya. Apa yang kurang darinya? Ia tidak pernah kekurangan apa pun. Toh, dia masih memiliki resort di pulau pribadi yang digunakan sebagai tempat berlibur. Pundi-pundi dolar mengalir tanpa henti dan sebenarnya ia tidak perlu repot-repot bekerja.
“Dengar, Nak. Orang Amerika pernah bilang, Jangan melihat apa yang negara berikan padamu, tapi lihat apa yang bisa kau berikan pada negaramu,”
“Omong kosong. Jangan harap ada hubungan timbal balik yang seperti itu. Orang berkumpul karena mereka punya tujuan yang sama, bukan? Hhh.. bahkan yang orang mengatakannya tak lebih baik daripada yang mendengar,” pria klimis itu tertawa hambar. Mata elang pemuda itu mengawasinya, menilai gerak-geriknya.
Ia gagal. Pria klimis itu bahkan tidak menyembunyikan apapun dari pemuda itu. Pemuda berambut hitam itu bisa menailai seseorang dari gerak tubuhnya bahkan ucapannya saja. Dan ia selama ini tak pernah salah menilai. Mr. Johnson contohnya adalah tipe yang suka dikritisi dan diajak berdebat jika bertemu, tidak perlu mengucapkan sapaan basa-basi karena dosennya adalah orang terus terang dan to the point. Dari keahlian inilah pemuda itu dapat memikat perhatian banyak orang. Sekarang pemuda itu benar-benar dibuat tersenyum olehnya. Bagaimana tidak? Orang ini sangat menarik sekali.
****
“Tiger sekarang semakin berubah,” ujar istrinya saat makan malam tanpa putranya yang berumur delapan tahun.
“Hmm, ku rasa dia hanya mengambek karena tidak jadi kau belikan nitendo terbaru.”
“Berikan sajalah, Sayang. Dia anak yang cerdas dan mau mendengarkan orang yang lebih tua, bukan? Nilainya tidak akan turun karena bermain game,” timpalnya singkat.
Istrinya menatapnya tajam, dan menghentikan gerakan menyendok nasi. “Kau ini selalu begitu. Itu tidak baik untuk tumbuh kembangnya, di umurnya yang masih muda dia harusnya bermain di lapangan bersama temannya,” katanya ketus. Ya ampun, bagaimana dia bisa lupa? Istrinya lulusan psikologi – tentunya dia menyadari hal itu.
“Dan … tidakkah kau sadar, Sayang? Kita hidup di lingkungan ini, sehingga tahu wajah tetangga saja tidak. Ku rasa, akan lebih baik jika …,”
“Tidak,” pria itu menegaskan. Dia sudah tahu arah pembicaraan ini. Ini bukan sekali-dua kali Karina mengajaknya pindah ke lingkungan perumahan yang sederhana. Istrinya memang berasal dari keluarga dokter yang sederhana. Pasien tempat praktek keluarga mereka memang kebanyakan berasal dari golongan bawah. Dan selepas ia menjadi istrinya, Karina tak pernah merasakan lagi hal itu. Mereka tinggal di kawasan terelite di Ibukota, akses ke tempat hiburan memang mudah – tapi tetap saja Karina bukan orang yang seperti itu.
Istrinya menundukan kepala, lalu melanjutkan makan tanpa ada suara lagi.
“Ayo besok kita sama-sama ke panti asuhan,” usulnya membuat kepala istrinya mendongak dan memperlihatkan matanya yang mulai berkaca-kaca. Istrinya mengangguk penuh semangat.
Pria berwajah masai itu menerawang jauh dalam lebatnya hujan. Dia saat ini berada di tempat nun jauh dari istri dan anaknya. Sendirian, hanya berteman kenangan. Sebutir kristal bening meluncur dari mata layunya. Hari itu adalah hari di mana ia dihukum atas kesalahan-kesalahannya.
Istrinya tergopoh-gopoh menuruni tangga. “Tiger tidak ada di kamarnya, Sayang!” ia berteriak kalap. Air muka ketakutannya terlihat dengan jelas.
“Dia kemarin memang kembali selepas kita makan malam, aku menidurkannya seperti biasa, dan pagi ini … biasanya ia belum bangun sebelum aku bangunkan,”
Entah mengapa hati pria itu menjadi gelisah. Sial, dia terlalu menganggap santai persoalan nitendo. Dia dengan segera menelpon anak buahnya untuk mencari Tiger. Dan mengajak isrinya bergegas mencari.Tentu saja ia tidak bisa berpikir jernih, istrinya terus terisak menyesali perbuatannya sepanjang perjalanan mencari. Mobilnya berhenti tiba-tiba, dering telepon masuk.
“Halo. Selamat siang. Kami dari kepolisian. Anak Anda, saudara Tiger kami tahan atas tuduhan menyebarkan narkotika,” Ia hanya mendengar kata-kata pertama. Pikirannya terasa kosong. Ia tidak bisa mendengar suara istrinya yang panik di sampingnya. Matanya melebar, jantungnya seakan berhenti. Ada gondam besar yang bertalu-talu di kepalanya. Bagaimana bisa?
Istrinya menggoyang-goyang lengannya tapi semua yang dihadapannya mengabur. Ia pasti salah dengar. Tidak mungkin Tiger, anaknya yang cerdas melakukan hal seperti itu, kan? Hatinya mendadak ngilu.
“Dia anak yang cerdas dan mau mendengarkan orang yang lebih tua, bukan?” itulah masalanya, dia mau mendengarkan orang lain yang lebih tua.
“Tidak … tidak mungkin!” teriak istrinya saat pengadilan tentang anaknya sedang berlangsung. Ia menangis meraung di antara para hakim. Dia sudah menyewa pengacara terbaik seantero Asia, untuk bisa memenangkan pengadilan ini. Tapi yang membuatnya seperti mayat berjalan adalah tatapan putranya yang begitu dingin, sehingga ia tidak mengenalinya lagi.
“Maaf, tapi saya sudah tidak bisa membantu lebih jauh lagi. Seperti yang Anda tahu, putra Anda lebih dari seorang kurir yang diperdaya orang lain,”
Pada malam yang dingin di bulan Oktober minggu ketiga. Istrinya mengakhiri hidupnya. Hidupnya terasa hambar. Tidak berarti. Berhari-hari ia mencoba melupakan hal itu, rasa penyesalannya. Tapi tetap saja, ia bukan hanya menghancurkan hidup keluarganya sendiri ia lupa jika ia juga membunuh banyak orang di luar sana.
Pria bermata layu itu maju dua langkah. Membuat tubuhnya sepenuhnya terguyur hujan. Dingin menembus tulangnya. Ia tergugu. Mengapa ia masih diberi kehidupan? Matanya terpejam. Berharap air mata langit menghapus dosanya.
Malang, 25-09-2016
Ria Leu
.
.
.
.
.
.
.