Oleh: Retno Purwa, Neneng Ela, Hilya, Ai, Saida, Imam, Yaman, Rama, Melly, Zulfi
“Bangun, Magai…!!!”
Seketika gelak tawa pecah berbaur debur ombak. Tiga pasang kaki kecil itu berkejaran menyusur garis pantai yang mulai dilingkupi redup senja. Magai mengayun-ayunkan rongsokan pesawat mainan sepanjang lengan tangannya di udara.
“Terbang tinggi, Bapa Pilot! Terbang yang tinggi!”
“Terbang tinggi! Terbang tinggi!”
Suara mereka bersahut-sahutan, mengudara ke laut lepas.
“Magai, kamu memang mau jadi pilot?” ujar Galing sembari berlari mengejar Magai dan Bana.
“Apa? Aku tak mendengar suaramu, Ling,” teriak Magai.
“Kau mau jadi pilot?”
“Bukan, Galing. Tapi aku ingin membuat pesawat, yang terbang bebas di awan, mengelilingi dunia sesuka hati,” sahut Magai penuh percaya diri.
“Kalau aku, aku hanya ingin naik pesawat,” tiba-tiba Bana nyeletuk dengan senyum polosnya dan topi khas gaya dirinya yang ia pakai terbalik.
***
“Magai, bangun! Bangun!” Panggil ibunya. Dengan malas, Magai membuka mata.
“Cepat bangun, kita harus segera ke hutan mencari sagu.”
“Kenapa rongsokan pesawat itu kau ambil, Magai? Lebih baik kau bawa pulang sagu daripada bawa rongsokan tak berguna itu,” ceramah ibu.
Magai mulai melangkahkan kaki ke hutan bersama ibunya. Hembusan angin menerpa sekujur tubuhnya. Magai terlihat melamun sepanjang perjalanan.
“Magai….Magai….” Panggilan ibunya telah memecah apa yang dia pikirkan.
“Kamu memikirkan apa, Nak?”
“Tidak ada, Bu.” Jawab Magai. Tiba-tiba Magai mendengar suara pesawat lewat.
“Bu, ada pesawat lewat!”
“Iya.” Jawab ibunya sambil mengambil kayu di sekitar hutan. Magai terus menatap pesawat tersebut.
“Magai, hati-hati ya. Jangan terlalu melihat ke atas.” Kata ibunya.
Selepas ibunya berkata demikian, seketika itu pula Magai jatuh ke dalam jurang. Dia tersadar bahwa ia menemukan hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Goa yang sangat besar dengan beragam batu permata terhampar di hadapannya. Magai seketika memanggil ibunya dari dasar jurang.
“Ibu… Ibu… lihat apa yang aku temukan!”
“Ternyata ada sebuah pesawat mainan yang masih bagus keluaran terbaru pula.” Magai kegirangan.
“Ini sebuah pertanda Bu, kalau Magai bisa menjadi seperti Pak Habibie yang ahli membuat pesawat terbang. Bu, doakan saja anakmu ini bisa menggapai cita-cita.”
“Iya, Nak. Ibu akan selalu dan selalu mendoakanmu.” Ibu berucap dengan gemetar dan menitikkan air mata. Laksana suara itu menembus ke Arsy-Nya.
“Aku, Magai! Dengan yakin akan mengganti doa dan air mata Ibu dengan karya nyata. Akan aku bawa Ibu keliling dunia.” Magai bertekad dalam hati. Tak lama kemudian, terdengar suara adzan berkumandang.
“Iya, Ibu. Terima kasih banyak. Mari Bu, kita sholat bersama di surau. Suara Bapak sudah terdengar.”
Senja sore itu mengiringi harapan yang Magai dan ibunya panjatkan dengan penuh harap.
*SEKIAN*