Literasi Pesantren; Paksakan hingga jadi kebiasaan

Di zaman yang sudah serba modern ini, tantangan untuk menarik minat baca anak sangat luar biasa berat. Hal ini dikarenakan berbagai kemajuan teknologi telah memanjakan hingga melalaikan mereka, mulai dari televisi hingga game online.

Paparan di atas diungkakan oleh Shorih Kholid, pegiat literasi sekaligus penggagas program reading time di Pondok Pesantren Cahaya Qur’an Tritunggal, Babat, Lamongan, Kamis (25/03/2021).

Reading time ini merupakan agenda rutin usai jamaah sholat Isya di Pondok Pesantren Cahaya Qur’an. Kegiatan ini mewajibkan setiap santri untuk membaca minimal 15 menit, entah yang dibaca itu novel, komik, majalah dan buku-buku lain selain buku pelajaran.

“Buku yang paling diminati anak-anak itu Komik Naruto dan Kisah Sahabat Nabi. Ini saya lihat tiap kali reading time, pilihan buku anak-anak ya judul itu. Bahkan siang hari, saat jam kosong kegiatan, ada beberapa anak yang juga masih aktif membaca kedua buku ini,” imbuh Alumnus Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta itu.

Sebagai penyedia berbagai bahan buku bacaan tersebut, sebagian saya boyong dari perpustakaan pribadi Taman Baca Sabuku di Drajat, ada yang dari sumbangan Mbak di Jakarta juga sumbangan teman-teman angkatan di MA Tarbiyatut Tholabah dulu. Sampai hari ini, dari ratusan eksemplar buku, belum ada yang beli dari kas Pondok. Karena kami memang belum punya anggaran untuk perpustakaan. 

Poin penting dalam kegiatan ini adalah adanya pendampingan dari musyrif—pendamping atau ustadz. Ustadz yang mendampingi juga harus ikut membaca karena tidak etis rasanya jika anak diwajibkan baca, tapi pembinanya main gawai. “Seperti saya, setiap reading time, mesti akan bawa buku juga. Ikut membaca bareng-bareng mereka,” tambah menantu Nyai Hj. Nurus Sa’adah, Pengasuh PP Cahaya Quran.

Program ini muncul dari angan-angan saya dan pengalaman mondok dulu. Sebab, keberhasilan di bidang apapun, biasanya berawal dari sebuah paksaan. Termasuk hobi dan kesenangan membaca. Sebagus apapun buku yang sudah disediakan sekolah, pesantren, atau lembaga, jika tidak ada sistem yang bisa “memaksa” santri untuk membaca maka rata-rata buku itu tidak akan tersentuh.

“Cara memaksanya bisa macem-macem. Ada yang lewat lomba resensi, lomba review buku, tugas penelitian, tugas soal-soal, atau kreativitas lainnya,” sambungnya.  Karena disamping dapat memompa semangat anak-anak untuk terus membaca, secara langsung mereka juga berlatih menulis.

Selaras dengan itu, ke depannya nanti akan digalakkan penerbitan karya santri dan ustadz. Akan ada program pemaksaan menulis terhadap santri setiap seminggu sekali dengan tema yang disepakati. Rencananya kami akan belikan printer laser yang mendukung cetak buku satuan.

“…Istilahnya print-on-demand (POD), sehingga, begitu ada karya santri yang selesai ditulis, diedit, layout, dan desain, bisa langsung dicetak sendiri dengan harga terjangkau dan penulis juga bisa beli sendiri untuk oleh-oleh ke rumah,” jelas mantan lay outer Koran Duta Masyarakat  Biro Jakarta ini.

Selain itu, kami juga akan menggalakkan majalah virtual. Setiap bulan, PP CQ akan terbitkan majalah berbentuk File PDF yang bisa diunduh gratis. Tim redaksinya dari siswa, guru Bahasa Indonesia, dan di bawah supervisi saya secara langsung.

Progam ini tidak lepas dari almarhum ayah saya yang sangat mengispirasi dan memotivasi saya untuk membiasakan membaca sejak usia dini. Beliau yang guru PNS sebuah SD, dan setiap bulan selalu membawa oleh-oleh majalah anak ke rumah. Untuk saya dan saudara-saudara lainnya.

Usaha lain Bapak untuk memupuk kecintaan membaca ialah dengan berlangganan koran. Yang itu beliau lakukan setiap ada gelaran Piala Dunia atau Piala Eropa. Bapak akan berlangganan khusus Koran Jawa Pos sebulan penuh.

“Semenjak itu, saya dan saudara-saudara lainnya jadi gemar membaca. Saya mulai terbiasa jongkok di Pasar Wage desa Banjarwati, untuk sekadar numpang baca majalah, karena waktu itu belum ada uang dan belum bisa beli,” pungkas Beliau.

Comments are closed.